Kamis, 17 Januari 2013

Asuransi Syariah


                   I.            Latar belakang
Kehidupan masyarakat modern sudah sedemikian sarat dengan beragam ancaman dan resiko bahaya, yang dipicu sendiri oleh kelemahannya, kesalahan-kesalahan, kealpaan, dan ketidak mengertiannya akan masalah metafisis. Manusia tidak akan mengetahui hal yang akan terjadi esok dan seterusnya. Dari sinilah hal yang memicu manusia harus mempunyai jaminan atau modal untuk menghadapinya. Untuk itu lahirlah sebuah perusahaan penjamin yang disebut asuransi. Dimana setiah hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan kebangkrutan perusahaan, dan kebakaran akan mengatasinya dengan cara membantu atau menolong seseorang yang terkena musibah itu.
                II.            Rumusan masalah
A.    Adakah jalur alternative mengenai hukum antara halal ataukah haram sebuah asuransi?
             III.            Pembahasan
Dewasa ini asuransi sudah banyak dikenal oleh masyarakat muslim di indonesia. Dalam pemahamannya, mereka sebagai orang awam hanya mengetahui bahwa asuransi hanyalah sebagai jaminan jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan seperti, kecelakaan, kebakaran, kematian, kebangkrutan perusahaan dan lain-lain. Mereka menganggap asuransi hanyalah sebuah penjamin di saat mereka lagi terkena musibah, akan tetapi mereka tidak mengerti bagaimana dan seperti apa system yang ada di dalamnya.
Sebagai umat muslim kita harus mengkaji lebih dalam mengenai asuransi, sebab dalam permasalahannya banyak sekali perbedaan para ulama mengenai hukum tentang asuransi. Ada pendapat yang mengharamkan, ada yang menghalalkan, ada yang membolehkan asuransi sosial dan mengharamkan asuransi komersial, dan ada yang mengatakan hukum asuransi adalah syubhat. Adapun sebab-sebab pendapat ulama tersebut secara umum yaitu:
A.    Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
a.       Asuransi sama dengan judi.
b.      Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti.
c.       Asuransi mengandung unsur riba/renten.
d.      Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
e.       Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
f.       Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.

B.     Asuransi apapun diperbolehkan. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:

a.       Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
b.      Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
c.       Saling menguntungkan kedua belah pihak.
d.      Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
e.       Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil).
f.       Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
g.      Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.

C.     Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan. Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).

D.    Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sulit untuk menentukannya, mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar. Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui.
Berdasarkan penjelasan dari pendapat ulama tersebut  pada poin 1 dan 2 saling menguatkan pendapatnya masing-masing. Pertama ulama yang mengharamkan bersikap keras dan tegas menyatakan perang terhadap asuransi, dan berpendapat bahwa kontrak asuransi secara dimensi bertentangan dengan standar-standar etika yang ditetapkan oleh hukum islam. Asuransi berbahaya, tidak pasti, dan tidak adil.[1]
Kedua ulama yang menghalalkan asuransi melihat argument pendapat ulama yang mengharamkan asuransi langsung mengajukan bantahan yaitu:

a.       Asuransi bukan perjudian dan juga buka pertaruhan, karena didasarkan pada prinsip mutualisme (kebersamaan) dan kerjasama.
b.      Ketidak pastian dalam transaksi dilarang dalam islam karena menyebabkan perselisihan. Dalam hal ini asuransi jauh dari ketidakpastian, khususnya ketika disertai dengan satu kompensasi (ganti rugi) yang pasti. Sebenarnya, kompensasi nyata dalam asuransi adalah keamanan yang di rasakan oleh peserta asuransi sebagai pengganti untuk setiap cicilan.
c.       Asuransi bukan alat untuk menolak kekuasaan Allah SWT atau mengganti kehendaknya, karena asuransi tidak menjamin suatu peristiwa yang tidak terjadi, tapi sebaliknya mengganti kerugian para peserta asuransi terhadap akibat-akibat dari peristiwa atau  resiko yang sudah ditentukan .
d.      Mengenai cicilan, cicilan disini yang tidak tentu dalam asuransi jiwa tidaklah mempengaruhi keabsahan kontra juga tidak merugikan dari pihak manapun, karena dari jumlah cicilan dapat diketahui ketika dibayar dan begitu pula jumlah total semuanya pada saat cicilan semuanya sudah dibayar.
e.       Keberatan mengenai riba, dalam asuransi jiwa tak berguna, karena asuransi ini membolehkan peserta asuransi untuk tidak menerima lebih dari yang telah dibayar.[2]

Dari perdebatan diatas sangat membingungkan dan membuat keragu-raguan untuk mengambil keputusan tentang halal atau haramkah asuransi tersebut, sebab dari dua pendapat tersebut sangat kuat dasar hukumnya dan penjelasannya. Kemudian ini yang menyebabkan kita menganggap hukum asuransi adalah syubhat. Mengenai hal ini  jalan alternatif baru yang ditawarkan, yaitu:
 Pertama asuransi menurut ketentuan agama Islam, dalam keadaan seperti ini sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yagn tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)
Kedua jika kita uamat muslim ingin mengikuti asuransi baik itu konvensional maupun syariah, maka kita harus memperhatikan kriteria asuransi yang sesuai syara/ hukum islam yaitu:

1.   Asuransi harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), saling menolong dan menjamin (ta’awun’dan tadhamun) dalam memperbaiki dan mengganti akibat-akibat melapetaka yang merugikan seseorang,, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
2.   Asuransi  tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
3.   Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4.   Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
5.   Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
6.   Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.[3]

·         Analisa dan Kesimpulan
                                i.            Analisa
Dengan melihat dan membaca mengenai pendapat para ulama yang mengharamkan asuransi kita akan yakin bahwa asuransi itu adalah haram karena terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh agama di dalam sistem-sistemnya. Akan tetapi jika kita kemudian membaca lagi mengenai pendapat para ulama yang menghalalkan asuransi dengan alasan-alasan tersebut yang sudah di jelaskan tadi maka kita akan berubah fikiran mengenai hukum halal ataukah haram asuransi tersebut. Dengan demikian yang hanya kita dapat hanyalah bingung, bimbang dan ragu terhadap kedua hal tersebut.

                              ii.            Kesimpulan
Berdasarkan analisa yang saya buat terhadap hukum yang ditetapkan oleh para ulama terhadap asuransi akan menyebabkan masyarakan menjadi ragu dan bimbang. Untuk itu saya ada berada di pihak keempat, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa asuransi tersebut adalah syubhat (antara halal dan haram) karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Dengan pendapat ini saya menawarkan dua jalan alternatif yaitu Pertama asuransi menurut ketentuan agama Islam, dalam keadaan ini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yagn tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad). Maksudnya bahwa kita untuk meninggalkan atau jangan mengikuti asuransi jika kita ragu dan bimbang terhadap hukumnya.
Kedua jika kita uamat muslim ingin mengikuti asuransi baik itu konvensional maupun syariah, maka kita harus memperhatikan kriteria asuransi yang sesuai syara/ hukum islam yaitu asuransi dengan syarat yang sudah saya jelaskan di atas tadi. Dengan adanya hal ini kita tidak lagi menjadi ragu, sebab sudah ada penjelasan atau jalan alternative mengenai hukum yang ditetapkan para ulama tentang asuransi.

             IV.            Penutup

Demikian makalah ini saya buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan kalimat dan lain sebagainya saya mohon maaf. Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Daftar Pustaka


·         Ali, Hasan, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2004)




[1] Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 145
[2] Ibid, hal. 146-147

Tidak ada komentar: