I.
Latar belakang
Kehidupan masyarakat modern sudah sedemikian sarat dengan beragam ancaman
dan resiko bahaya, yang dipicu sendiri oleh kelemahannya, kesalahan-kesalahan,
kealpaan, dan ketidak mengertiannya akan masalah metafisis. Manusia tidak akan
mengetahui hal yang akan terjadi esok dan seterusnya. Dari sinilah hal yang
memicu manusia harus mempunyai jaminan atau modal untuk menghadapinya. Untuk
itu lahirlah sebuah perusahaan penjamin yang disebut asuransi. Dimana setiah
hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan kebangkrutan perusahaan, dan
kebakaran akan mengatasinya dengan cara membantu atau menolong seseorang yang
terkena musibah itu.
II.
Rumusan masalah
A.
Adakah jalur alternative mengenai hukum antara halal
ataukah haram sebuah asuransi?
III.
Pembahasan
Dewasa ini asuransi sudah banyak dikenal oleh masyarakat muslim di
indonesia. Dalam pemahamannya, mereka sebagai orang awam hanya mengetahui bahwa
asuransi hanyalah sebagai jaminan jika terjadi sesuatu hal yang tidak
diinginkan seperti, kecelakaan, kebakaran, kematian, kebangkrutan perusahaan
dan lain-lain. Mereka menganggap asuransi hanyalah sebuah penjamin di saat
mereka lagi terkena musibah, akan tetapi mereka tidak mengerti bagaimana dan
seperti apa system yang ada di dalamnya.
Sebagai umat muslim kita harus mengkaji lebih dalam mengenai asuransi,
sebab dalam permasalahannya banyak sekali perbedaan para ulama mengenai hukum
tentang asuransi. Ada pendapat yang mengharamkan, ada yang menghalalkan, ada
yang membolehkan asuransi sosial dan mengharamkan asuransi komersial, dan ada
yang mengatakan hukum asuransi adalah syubhat. Adapun sebab-sebab pendapat
ulama tersebut secara umum yaitu:
A.
Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk
asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii
(mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”).
Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
a.
Asuransi sama dengan judi.
b.
Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti.
c.
Asuransi mengandung unsur riba/renten.
d.
Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam
praktek-praktek riba.
e.
Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak
tunai.
f.
Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya
dengan mendahului takdir Allah.
B.
Asuransi apapun diperbolehkan. Pendapat kedua ini
dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum
Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru
besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa
(pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
a.
Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
b.
Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
c.
Saling menguntungkan kedua belah pihak.
d.
Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi
yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan
pembangunan.
e.
Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil).
f.
Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
g.
Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti
taspen.
C.
Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat
komersial diharamkan. Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu
Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga
ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram)
dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial
(boleh).
D.
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena
tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Dari uraian di atas
dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada
saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga
sulit untuk menentukannya, mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang
benar. Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang
pantas dilalui.
Berdasarkan penjelasan dari pendapat ulama tersebut pada poin 1 dan 2 saling menguatkan
pendapatnya masing-masing. Pertama ulama yang mengharamkan bersikap keras dan
tegas menyatakan perang terhadap asuransi, dan berpendapat bahwa kontrak
asuransi secara dimensi bertentangan dengan standar-standar etika yang
ditetapkan oleh hukum islam. Asuransi berbahaya, tidak pasti, dan tidak adil.[1]
Kedua
ulama yang menghalalkan asuransi melihat argument pendapat ulama yang
mengharamkan asuransi langsung mengajukan bantahan yaitu:
a.
Asuransi bukan perjudian dan juga buka pertaruhan, karena
didasarkan pada prinsip mutualisme (kebersamaan) dan kerjasama.
b.
Ketidak pastian dalam transaksi dilarang dalam islam karena
menyebabkan perselisihan. Dalam hal ini asuransi jauh dari ketidakpastian,
khususnya ketika disertai dengan satu kompensasi (ganti rugi) yang pasti.
Sebenarnya, kompensasi nyata dalam asuransi adalah keamanan yang di rasakan
oleh peserta asuransi sebagai pengganti untuk setiap cicilan.
c.
Asuransi bukan alat untuk menolak kekuasaan Allah SWT atau
mengganti kehendaknya, karena asuransi tidak menjamin suatu peristiwa yang
tidak terjadi, tapi sebaliknya mengganti kerugian para peserta asuransi
terhadap akibat-akibat dari peristiwa atau resiko yang sudah ditentukan .
d.
Mengenai cicilan, cicilan disini yang tidak tentu dalam asuransi
jiwa tidaklah mempengaruhi keabsahan kontra juga tidak merugikan dari pihak manapun,
karena dari jumlah cicilan dapat diketahui ketika dibayar dan begitu pula
jumlah total semuanya pada saat cicilan semuanya sudah dibayar.
e.
Keberatan mengenai riba, dalam asuransi jiwa tak berguna, karena
asuransi ini membolehkan peserta asuransi untuk tidak menerima lebih dari yang
telah dibayar.[2]
Dari perdebatan diatas sangat membingungkan dan membuat
keragu-raguan untuk mengambil keputusan tentang halal atau haramkah asuransi
tersebut, sebab dari dua pendapat tersebut sangat kuat dasar hukumnya dan penjelasannya.
Kemudian ini yang menyebabkan kita menganggap hukum asuransi adalah syubhat. Mengenai
hal ini jalan alternatif baru yang ditawarkan, yaitu:
Pertama asuransi menurut
ketentuan agama Islam, dalam keadaan seperti ini sebaiknya berpegang kepada sabda
Nabi Muhammad SAW:“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal
yagn tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)
Kedua jika kita uamat muslim ingin mengikuti asuransi baik itu
konvensional maupun syariah, maka kita harus memperhatikan kriteria asuransi
yang sesuai syara/ hukum islam yaitu:
1. Asuransi harus dibangun atas dasar taawun
(kerja sama ), saling menolong dan menjamin
(ta’awun’dan tadhamun) dalam memperbaiki dan mengganti akibat-akibat melapetaka
yang merugikan seseorang,, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah
SWT berfirman,” Dan saling tolong
menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong
dalam dosa dan permusuhan.”
2. Asuransi tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau
mudhorobah.
3. Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah
(pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi
peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut
jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi
menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah
sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan
sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat
bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti
atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
6. Apabila uang itu akan dikembangkan, maka
harus dijalankan menurut aturan syar’i.[3]
·
Analisa dan Kesimpulan
i.
Analisa
Dengan melihat dan membaca mengenai pendapat para ulama yang
mengharamkan asuransi kita akan yakin bahwa asuransi itu adalah haram karena
terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh agama di dalam sistem-sistemnya. Akan
tetapi jika kita kemudian membaca lagi mengenai pendapat para ulama yang
menghalalkan asuransi dengan alasan-alasan tersebut yang sudah di jelaskan tadi
maka kita akan berubah fikiran mengenai hukum halal ataukah haram asuransi
tersebut. Dengan demikian yang hanya kita dapat hanyalah bingung, bimbang dan
ragu terhadap kedua hal tersebut.
ii.
Kesimpulan
Berdasarkan analisa yang saya buat terhadap hukum yang
ditetapkan oleh para ulama terhadap asuransi akan menyebabkan masyarakan
menjadi ragu dan bimbang. Untuk itu saya ada berada di pihak keempat, yaitu
pendapat yang mengatakan bahwa asuransi tersebut adalah syubhat (antara halal
dan haram)
karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Dengan pendapat ini saya menawarkan dua jalan alternatif yaitu Pertama asuransi
menurut ketentuan agama Islam, dalam keadaan ini, sebaiknya berpegang kepada
sabda Nabi Muhammad SAW:“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu
(berpeganglah) kepada hal-hal yagn tidak meragukan kamu.” (HR.
Ahmad). Maksudnya bahwa kita untuk meninggalkan atau jangan mengikuti
asuransi jika kita ragu dan bimbang terhadap hukumnya.
Kedua jika kita uamat muslim ingin mengikuti asuransi baik itu
konvensional maupun syariah, maka kita harus memperhatikan kriteria asuransi
yang sesuai syara/ hukum islam yaitu asuransi dengan syarat yang sudah saya
jelaskan di atas tadi. Dengan adanya hal ini kita tidak lagi menjadi ragu,
sebab sudah ada penjelasan atau jalan alternative mengenai hukum yang
ditetapkan para ulama tentang asuransi.
IV.
Penutup
Demikian makalah ini saya buat, apabila ada kesalahan dalam
penulisan kalimat dan lain sebagainya saya mohon maaf. Semoga dengan adanya
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Daftar Pustaka
·
Ali,
Hasan, Asuransi Dalam Perspektif Hukum
Islam, (Jakarta: Kencana, 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar