Sabtu, 19 Januari 2013
Hukum Perkawinan
I. Latar belakang.
Pernikahan merupakan fitrah manusia agar seorang dapat memikul amanat tanggung jawabnya yang paling besar dalam dirinya terhadap orang yang paling berhak mendapat pendidikan dan pemeliharaan. Pernikahan memiliki manfaat yang paling besar terhadap kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial itu adalah memelihara kelangsungan jenis manusia, memelihara keturunan, menjaga keselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta menjaga ketenteraman jiwa.
Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa: "Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Untuk itu saya akan mencoba menjelaskan mengenai ruang lingkup pernikahan dan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan baik itu tentang perceraian dan kekayaan sesuai dengan peraturan Undang-undang di Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
II. Pembahasan.
A. Perkawinan.
1. Pengertian.
Perkawinan merupakan institutsi yang sangat penting dalam masyarakat, dari pengertian pernikahan ini menurut Aser, Scholten, Pitlo, Petit, Melisa, dan Wiarda, memberikan definisi bahwa perkawinan adalah suatu persekutuan seorang pria dan wanita yang diakui oleh Negara untuk bersama/bersekutu yang kekal. Sementara menurut Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seseorang pria dan wanita yang dilakukan secara formal dengan undang-undang dan kebanyakan religious.
Dalam KUHPerdata pasal 1 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UUP) bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Dari definisi tersebut pada KUHPerdata bahwa perkawinan memiliki dua aspek yaitu pertama aspek formil (Hukum) dinyatakan dalam kalimat “ikatan lahir batin” artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai ikatan secara lahir tampak juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan inti dari perkawinan itu. Yang kedua aspek sosial keagamaan disebutkan pada kalimat “membentuk keluarga dan berdasarkan ketuhanan yang maha esa” artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengn kerohanian, sehingga bukan saja pada unsur rohani akan terapi berperan penting pada unsur batin.
2. Syarat perkawinan.
Dalam undang-undang perkawinan meletekan syarat-syarat yang ketat bagi pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Pada bab II pasal 6 hingga pasal 12 memuat syarat-syarat yang ketat bagi pihak-pihak yang akan melakukan perkawinan. Syarat-syarat tersebut antara lain:
a. Persetujuan kedua belah pihak.
Dalam perkawinan syarat ini sangat menentukan sebab jika syarat ini jika tidak di penuhi maka pernikahan yang dilakukan akan menjadi kawin sirih, karena tidak ada persetujuan dari kedua belah pihak atau keluarga mereka. Syarat ini tertera pada pasal 6 ayat 1.
b. Izin orang tua wali.
Ayat 2 pasal 6 menentukan bahwa dalam melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua itu meninggal dunia, izin itu dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang masih mampu untuk menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua jika orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari:
1) Wali,
2) Orang yang memelihara,
3) Keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan yang luus di atas (kakek-nenek) selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendak.
Jika terdapat perbedaan pendapat diantara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dalam ayat 2, 3, dan 4, pasal ini. Selanjutnya ayat 6 pasal 6 menentukan ayat 1 sampai 5 itu berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan yang lain.
Yang dapat menjadi wali itu menurut susunannya ialah:
• Ayah ayahnya,
• Saudara leleki yang seibu dan seayah,
• Anak saudara laki-laki yang seibu dan seayah,
• Anak saudara laki-laki yang seayah,
• Saudara laki-laki dari ayah yang seibu dan seayah,
• Saudara laki-laki dari ayah yang seayah,
• Anak laki-laki dari sudara laki-laki dari ayah,
• Anak laki-laki dari saudara laki-laki dari ayah yang seibu dan seayah,
• Anak laki-laki dari saudara laki-laki dari ayah yang seayah.
Bila orang-orang tersebut yang sudah disebutkan tadi tidak menjadi wali atau menolak tanpa sebab atau alasan yang jelas, seorang penghulu dapat bertindak sebagai wali hakim.
c. Batas umur untuk kawin.
Ayat 1 pasal 7 undang-undang perkawinan menentukan bahwa perkawinan hanya dibenarkan jika pihak pria sudah mencapai umur Sembilan belas tahun, dan pihak wanita sudah mencapai enam belas tahun.
d. Tidak terdapat larangan kawin.
Ketentuan ini yang mengatur tentang larangan untuk melangsungkan perkawinan diantara orang-orang yang mempunyai hubungan tali persaudaraan terdapat dalam pasal 8 (a) hingga (f) UUP. Disebutkan perkawinan dilarang antara dua orang yang:
• Berbubungan darah dalam geris keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.
• Berhubungan darah dalam garis keturrunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara tua, dan antara seorang dengan saudara nenek.
• Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu-bapak tiri.
• Berhubungan susuan, orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi paman susuan.
• Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
• Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
e. Tidak terikat dengan suatu perkawinan yang lain.
Pasal 9 undang-undang perkawinan melarang seorang yang masih terikat oleh perkawinan lain untuk kawin lagi kecuali dalam hal tersebut didalam ayat 2 pasal 3 dan pasal 4. Dalam peraturan tentang undang-undang perkawinan, jika seseorang laki-laki yang ingin melakukan pernikahan lagi atau disebut polygamy maka seorang tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
• Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri.
• Adanya kepastian bahwa suami benar-benar sanggup menjamin keperluan hidup istri dan anak mereka.
• Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya.
f. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami-istri yang sama yang akan dikawini.
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Bagi orang-orang yang menganut agama islam, ketentuan pasal 10 ini tidak berlaku sebab undang-undang islam membolehkan seorang kawin-cerai sehingga tiga kali. Setelah tiga kali bercerai, baru diperkenakan untuk kawin lagi dengan bekas istrinya jika bekas istrinya tersebut telah menikah terlebih dahulu dengan orang lain yang bukan bekas suaminya (orang ketiga). Setelah Sembilan kali bercerai baru perkawinan yang kesepuluh di larang.
Jadi maksud dari pasal 10 ini agar suatu perkawinan suami-istri dapat membentuk keluarga yang kekal, sehingga dengan di batasi perceraian agar seorang tersebut bisa mempertimbangkan benar-benar yang ingin melakukan perceraian.
g. Bagi janda telah lewat masa tunggu (tenggang idah).
Pada ayat 11 ini seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Tentang hal ini di atur didalam peraturan pemerintah no 9 tahun 1975 yaitu apabila perkawinan terputus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari. Apabila terputus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 kali suci sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari juga. Apabila putus sedang wanita tersebut janda dan dalam kedaan hamil, maka waktu tunggu ditetapka sampai anak melahirkan.
Jika janda tersebut putus karena perceraian sedangkan janda tersebut tidak hamil atau belum melakukan hubungan kelamin, maka tidak ada masa tunggu bagi wanita tersebut. Bagi perkawinan yang putus karena percerian waktu berlakunya sejak ditetapkan oleh pengadilan, sedangkan yang putus karena kematian maka dihitung sejak kematinan tersebut.
h. Memenuhi tata cara perkawinan.
Pada pasal 12 Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 pasal 2 hingga 11.
3. Pencegahan dan Pembatalan perkawinan
Untuk pencegahan perkawinan dan batalnya perkawinan sudah sangat jelas dijelaskan pada pasal 13 sampai pasal 21 untuk pencegahan perkawinan, dan pasal 22 sampai 28 untuk batalnya perkawinan yaitu:
a. Tentang pencegahan perkawinan.
Pasal l3
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 15
Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
(2) Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.
Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
b. Tentang batalnya perkawinan.
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri.
b. Suami atau isteri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
B. Hak dan kewajiban suami-istri, dan anak.
1. Hak dan kewajiban suami-istri.
Dalam hal mewujudkan tujuan dari suatu perkawinan sangat diperlukan kerja sama yang baik antara suami dan istri dalam hal menjalankan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang seharusnya diterima seseorang setelah ia memenuhi kewajibannya. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang seharusnya dilaksanakan oleh seseorang untuk mendapatkan hak.
Dalam hal ini apa yang dinamakan hak istri merupakan kewajiban dari suami, begitupula sebaliknya. Secara umum menurut pasal 33 dan pasal 34 Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, suami-istri wajib saling setia dan mencintai, hormat-menghormati, dan saling memberi bantuan secara lahir dan batin. Suami wajib melindungi dan memenuhi keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Begitu pula sang istri, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Berbicara mengenai hak dan kewajiban istri-suami maka hak dan kewajiban tersebut dapat dipisahkan menjadi dua kelompok, Pertama hak dan kewajiban yang berupa kebendaan, yaitu mahar dan nafkah. Kedua hak dan kewajiban yang bukan kebendaan. Yang merupakan hak dan kewajiban yang berupa kebendaan antara lain adalah Pertama, suami wajib memberikan nafkah pada istrinya. Maksudnya adalah suami memenuhi kebutuhan istri meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga pada umumnya. Kedua, suami sebagai kepala rumah tangga. Dalam hubungan suami-istri maka suami sebagai kepala rumah tangga dan istri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga sehari-hari dan pendidikan anak. Akan tetapi, ini tidak berarti sang suami boleh bertindak semaunya tanpa memperdulikan hak-hak istri. Apabila hal ini terjadi maka istri berhak untuk mengabaikannaya. Ketiga, istri wajib mengatur rumah tangga sebaik mungkin.
Adapun hak dan kewajiban suami-istri yang bukan kebendaan adalah pertama, suami wajib memperlakukan istri dengan baik. Maksudnya suami harus menghormati istri, memperlakukannya dengan semestinya dan bergaul bersamanya secara baik. Kedua, suami wajib menjaga istri dengan baik. Maksudnya suami wajib menjaga istri termasuk menjaga harga diri istri, menjunjung kemuliaan istri dan menjauhkannya dari fitnah. Ketiga, suami wajib memberikan nafkah batin kepada istri. Keempat, suami wajib bersikap sabar dan selalu membina ahlak istri. Maksudnya suami wajib untuk bersikap lemah lembut terhadap istrinya dan harus bersikap tegas ketika melihat istrinya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan agama. Sikap tegas di sini dimaksudkan untuk mendidik dan membina ahlak istri. Keempat, istri wajib melayani suami dengan baik. Maksudnya seorang istri wajib mentaati keinginan suaminya selama keinginan tersebut tidak bertentangan dengan syariat agama. Kelima, istri wajib memelihara diri dan harta suami. Maksudnya istri harus benar-benar menjaga diri jangan sampai menjadi perhatian orang yang mengakibatkan fitnah. Seorang istri juga wajib menjaga harta milik suami, dengan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak penting. Keenam, istri wajib untuk tidak menolak ajakan suami ke tempat tidur. Selain hak dan kewajiban suami-istri, dalam suatu perkawinan juga terdapat kedudukan suami-istri.
Secara garis besar kedudukan suami-istri dalam pasal 31 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah sama. Baik kedudukannya sebagai manusia maupun dalam kedudukanya dalam fungsi keluarga. Tujuan dari pasal 31 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah agar tidak ada dominasi dalam rumah tangga diantara suami-istri, baik dalam membina rumah tangga ataupun dalam membina dan membentuk keturunan. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa untuk dapat menciptakan sebuah keluarga yang harmonis diharapkan bagi suami-istri untuk menelaah lebih dalam dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari makna dari sebuah perkawinan, termasuk hak dan kewajiban suami-istri tentunya.
2. Hak dan kewajiban anak.
Pada umumnya anak adalah sebuah anugrah dari yang maha kuasa, bahkan anak adalah harta yang sangat berharga bagi setiap pasangan suami-istri. Dalam undang-undang KUHPer nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (UUP) telah di atur mengenai hak dan kewajiban antara anak dan orang tua. Yang menjadi kewajiban bagi orang tua akan menjadi hak bagi anak, begitu sebaliknya yang menjadi kewajiban seorang anak akan menjadi hak bagi orang tua, berikut adalah isi dan penjelasan dari hak dan kewajiban anak dan orang tua dalam undang-undang KUHPer nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (UUP):
Mengenai hak seorang anak pada Pasal 45 ayat (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya. Ayat (2) Kewajiban orang tua yang di maksud ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak ini kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal 47 ayat (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak di cabut dari kekuasaannya. Ayat
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Pasal 48 Orang tua tidak di perbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang di miliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 ayat (2) Meskipun orang tua di cabut kekusaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Pada pasal dan ayat ini mencakup mengenai hak bagi seorang anak dari orang tuanya. Untuk kewajiban anak pada Pasal 46 ayat (1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Ayat (2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas,bila mereka itu memerlukan bantuannya. Pada pasal inilah kewajiban anak pada intinya berkewajiban menghormati orang tuanya.
C. Perjanjian perkawinan.
Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami-istri atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda mereka. Pada umumnya suatu perjanjian kawin adakalanya dibuat dengan alasan:
a. Bila terdapat sejumah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada pihak yang lain.
b. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang cukup besar.
c. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andai kata salah satu jatuh, yang lain tidak tersangkut.
d. Atas utang-utang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung gugat sendiri-sendiri.
Undang-undang perkawinan menempatkan ketentuan tentang perjanjian perkawinan dalam pasal 29 KUHPer, yang pada intinya suatu perjanjian perkawinan dibolehkan asalkan tidak melanggar atau bertentangan dengan hukum, agama, kesusilaan. Adapun batasan-batasan dalam perjanjian dalam perkawinan yaitu:
a. Tidak membuat janji yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
b. Perjanjian kawin tidak boleh mengurangi hak-hak karena kekuasaan suami, hak-hak karena kekuasaan wanita, hak-hak suami-istri yang hidup terlama.
D. Percampuran dan pemisahan kekayaan
Dalam undang-undang perkawinan pasal 35-37 No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) maslah kekayaan atau harta di bagi atas beberapa hal yaitu
a. Harta Bersama
Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh sesudah suami-istri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga baik suami maupun istri punya hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak. Bila terjadi perceraian, maka menurut pasal 37 UUP, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan ‘hukumnya’ masing-masing adalah hukum yang berlaku sebelumnya bagi suami istri, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain (KUH Perdata misalnya).
Ketentuan semacam ini kemungkinan akan mengaburkan arti penguasaan harta bersama yang diperoleh suami-istri selama dalam perkawinan. Karena ada kecenderungan pembagiannya tidak sama, dikarenakan dominasi dan stereotipe bahwa suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istri. Yang berarti akan mengecilkan hak istri atas harta bersama. Untuk menghindari hal tersebut, beberapa pasangan suami istri memilih melakukan pemisahan harta dalam perkawinan.
b. Harta Bawaan
Yaitu harta benda yang telah dimiliki masing-masing suami-istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari warisan, hibah, atau usaha mereka sendiri-sendiri. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Artinya, seorang istri atau suami berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya masing-masing. Tetapi bila suami istri menentukan lain yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Untuk itu penyimpanan surat-surat berharga sangat penting disini.
c. Harta Perolehan
Yaitu harta masing-masing suami-istri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan. Harta ini diperoleh bukan dari usaha mereka baik seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan masing-masing. Pada dasarnya penguasaan harta perolehan ini sama seperti harta bawaan, yakni suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta perolehannya masing-masing dan jika ada kesepakatan lain yang dibuat dalam perjanjian perkawinan maka penguasaan harta perolehan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Demikian juga jika terjadi perceraian.
E. Perceraian dan akibat hukumnya
Perceraian menurut KUHPer adalah suatu cara pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu, melalui keputusan hakim yang didaftarkan pada catatan sipil. Alasan yang dapat mengakibatkan perceraian meninggalkan pihak lain tanpa ada alas an yang sah, dikenakan pidana lima tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan, dan istri atau suami mengalami luka yang berat atau penganiayaan sehingga membahayakan jiwa pihak yang teraniaya.
Akibat dari percerain tersebut yaitu dalam pasal 41 pertama orang tua tetap berkewajiban memelihara atau mendidik anaknya, semata-mata untuk kepentingan si anak. Jika apa perselisihan mengenai anak tersebut, maka pengadilan berhak memberi keputusan. Kedua bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan, bila bapaknya kurang mampu, maka si ibu dengan keputusan pengadilan bertanggung jawab juga dalam memelihara si anak tersebut. Ketiga pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk membiayai penghidupan bekas istrinya.
III. Kesimpulan.
Pada umumnya pengertian perkawinan yang tercakup dalam undang-undang KUHPer ialah ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di Indonesia dan di Negara lain agar perkawinan dapat terlaksana dengan tertata rapi maka pemerintah membuat hukum peraturan mengenai perkawinan. Pada pasal demi pasal perkawinan sudah diatur, mana kala ada yang melanggarnya akan dikenai sanksi oleh pengadilan setempat.
Peraturan mengenai perkawinan tersebut banyak mencakup syaratnya perkawinan, terutama tentang kapan umur diperbolehkannya menikah, bagaimana cara membagi harta dalam perkawinan, dan hingga tata cara perceraian sudah di atur oleh undang-undang. Undang-undang perkawinan di Indonesia termuat dalam KUHPerdata nomor 1 tahun 1974 dari Bab I – XIV. Pada Bab II tentang syarat perkawinan secara luas yaitu persetujuan kedua belah pihak, izin orang tua wali, batas umur, tidak terdapat larangan kawin, tidak terikat perkawinan lain, tidak bercerai kedua kali dengan suami-istri yang sama yang akan di kawini, bagi janda telah lewat masa tunggu, dan memenuh tata cara perkawinan. Pada Bab III dan Bab IV mengenai tentang pencegahan dan pembatalan perkawinan. Pencegahan dan pembatalan perkawinan akan terjadi apabila ada kejanggalan-kejanggalan dalam perkawinan tersebut, dan itu pun harus memenuhu syarat yang sudah di atur oleh undang-undang. Hingga pada bab bagian terakhir semuanya sudah diatur dan ditentukan oleh undang-undang perkawinan no 1 tahun 1974.
Daftar pustaka
Bakry, Hasbullah, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, Djamban, 1978.
Raasjidi, Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991.
Triwulan Tutik, Titik, Hukum Perdata Dalam System Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2008.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar