A. Latar belakang
Ekonomi syariah hadir dalam ranah sistem hukum
nasional yang terus berkembang dan semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran
untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development, agent of
modernization dan hukum sebagai a tool of social engineering.[1]
Hal ini seiring dengan perkembangan lembaga ekonomi/ keuangan syariah di
Indonesia, maka akan ada perbedaan kepentingan (conflict of interest)
dengan dunia Peradilan khususnya Peradilan Agama, titik singgung yang dimaksud
adalah dalam hal penyelesaian sengketanya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 Jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut
UUPAg.) telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama
saat ini, dimana salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang
lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syariah.
Melihat informasi lebil luas bahwa beberapa masalah
substantive ekonomi, UU PS juga masih menyimpan sejumlah masalah yuridisformal.
Terkait ketentuan tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah. Pada Bab IX
UU PS tercantum bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, namun dimungkinkan penyelesaian
dilakukan di pengadilan umum sepanjang sesuai isi Akad. Ketentuan ini merupakan
hasil kompromi dari rancangan awal dimana penyelesaian sengketa dilakukan oleh
pengadilan umum.[2]
Secara yuridis, ketentuan kompromi ini tetap bermasalah karena secara jelas
bertabrakan dengan ketentuan yang telah ada di UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama dimana peradilan agama berwenang secara penuh untuk menerima
dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Ketentuan ini juga konflik dengan
UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang telah memberi legitimasi
kompetensi absolut peradilan agama sebagai peradilan yang berwenang menangani
perkara-perkara dalam ranah hukum Islam, termasuk didalamnya ekonomi syariah.
Secara metodologis, masuknya aturan penyelesaian
sengketa dalam UU PS merupakan hal tidak lazim dan berpotensi menyalahi UU
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Penyelesaian sengketa masuk dalam ranah kekuasaan kehakiman, bukan ranah bisnis
sehingga seharusnya tidak masuk dalam UU PS ini. Pengalaman negara-negara lain
tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah menunjukkan kesimpulan yang
ambigu.[3] Di
Malaysia, penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan
umum. Sedangkan di Qatar, sebelum sistem kehakiman digabung pada Oktober 2004,
sengketa perbankan syariah diselesaikan oleh pengadilan syariah.
B. Rumusan Masalah
Pada Informasi yang di dapat bahwa dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syariah/ perbankan syariah di pengdilan agama masih
banyak pertimbangan atau ketidak jelasan baik dari undang-undang, pemerintah
maupun dari sumber-sumber yang ada. Oleh karena itu peneliti menarik beberapa
permasalahan yang akan di bahas yaitu:
1.
Apa yang mendasari penyelesaian sengketa
ekonomi islam/ perbankan syariah di ambil alih oleh Pengadilan Agama dan pada
kondisi apakah kasus tersebut benar-benar di ambil alih.
2.
Bagaimana keberadaan Pengadilan Agama ketika
sengketa ekonomi islam/ perbankan syariah diselesaikan sesuai dengan isi akad
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah BAB IX pasal 55 ayat 2.
3.
Bagaimana kewenangan dan penyelesaiannya
Hakim di Pengadilan Agama pada sengketa ekonomi islam/ perbankan syariah,
padahal di Indonesia belum ada hukum materiil ekonomi syariah yang terkumpul pada
suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Dan apakah fiqh muamalah sangat
berperan di dalam pengambilan keputusan serta penyelesaian hal tersebut.
C.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian adalah:
Adapun
tujuan penelitian ini untuk mengetahui mekanisme dan ketidak jelasan pada
penafsiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah BAB IX pasal 55 serta
mencari tau dan menentukan bagaimana penerapan fiqih muamalah sebagai landasan
dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama yang sesuai
dengan prinsip syariah serta menginventarisasi aktualisasi hukum materil fiqih
muamalah yang telah menjadi hukum positif di Indonesia.
2.
Manfaat Penelitian adalah:
i.
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan
dapat menambah pengetahuan hukum tentang penerapan fiqih muamalah sebagai salah
satu landasan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama
yang sesuai dengan prinsip syariah khususnya hukum Islam sebagai sumbangsih pemikiran
bagi perkembangan bidang ilmu hukum, khususnya hukum penyelesaian sengketa
ekonomi syariah.
ii.
Secara praktis, meningkatkan pemahaman
masyarakat terhadap penerapan dan pelaksanaan aturan mengenai fiqih muamalah
sebagai salah satu landasan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di
Pengadilan Agama yang sesuai dengan prinsip syariah.
D.
Kajian
Pustaka
Undang-Undang
Republik Indonesia No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah BAB IX pasal 55 ayat 2 yang mencakup tentang
sengketa ekonomi isalam/ perbankan syariah hanya menetapkan bagaimana pengambil
alihan kasus tersebut di selesaikan oleh pengadilan agama, akan tetapi tidak
merumuskan bagaimana tindakan-tindakan hakim menyelesaikan perkara sengketa
tersebut padahal dalam hal ini hokum tetap untuk menangani sengketa ekonomi
islam belum ada. Dalam hal ini upaya-upaya yang dilakukan peneliti hanyalah
sebatas bagaimana proses sengketa tersebut di selesaikan, dan akan dikaitkan
dengan hukum-hukum islam khususnya di bidang muamalah.
Pada
penelitian ini mengambil beberapa refrensi dari buku khususnya dalam buku (M.
Thahir Azhari “Islam ,Hukum Islam dan Eksistensi Arbitrase Islam Di
Indonesia,” BAMUI-BMI, Jakarta, 1994) yang mencakup tentang bagaimana hokum
islam diterapkan dalam hukum positif Indonesia. Kemudian mengenai keberadaan
pengadilan agama ketika sengketa ekonomi islam tersebut di selesaikan dengan
musyawarah, dan di pengadilan umum sesuai penjelasan pasal 55 ayat 2 maka
peneliti mengambil dari buku (Muhammad Amin Suma, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap
Yurisprudensi Peradilan agama dari Pelaksanaan Undang-Undang Peradilan Agama (Dalam
Laporan Seminar 10 Tahun Undang-Undang Peradilan Agama Kerjasama
DITBAPERA-Islam, Fakultas Hukum UI, dan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat,
Chasindo, Jakarta, 1989). Adapun refrensi dari jurnal khususnya yang menarik
peneliti untuk meneliti studi ini yaitu peneliti ambil dari jurnal (Politik Ekonomi Uu Perbankan Syariah Peluang Dan
Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah oleh Yusuf Wibiso No.1, Bisnis & Birokrasi, Jurnal
Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2009, hlm. 105-115).
Untuk menjaga ke aslian atau ke originalan
penelitian yang membedakan dengan penelitian lain khususnya (Penerapan Fiqih Muamalah Sebagai Dasar
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Oleh :
Hj. Renny Supriyatni) bahwa dalam penelitian tersebut hanyalah mengkaji
tentang bagaimana penerapan fiqih
muamalah sebagai dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa
ekonomi syariah tidak mengkaji tentang keberadaan Pengadilan Agama ketika
penyelesaiannya melalui yang dijelaskan pasal 55 ayat 2. Pada penelitian
penulis ini lebih menekankan dan menjelaskan tentang penjelasan Undang-Undang
Republik Indonesia No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah BAB IX pasal 55 ayat 2. Oleh karena itu dalam
penelitian ini peneliti mengambil judul tentang (Analisis Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama.
E.
Kerangka
teori
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang -Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UUPAg.) telah membawa
perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini, dimana salah
satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama
antara lain dalam bidang ekonomi syariah. Berdasarkan data yang yang diperoleh
dari Ditjen Badan Peradilan Agama yang diakses melalui situs Badan Peradilan
Agama,[4] hakim Pengadilan
Agama yang menangani perkara ekonomi syariah mengalami sedikit kendala dalam
melaksanakan tugasnya. Kendala dimaksud antara lain:
1. Baru
pertama kali menangani perkara ekonomi syariah, sehingga wajar apabila
pengetahuan dan keterampilan hakim dalam menangani perkara tersebut belum
memadai.
2. Masih
belum ada hukum materiil ekonomi syariah yang terkumpul pada suatu peraturan
perundang-undangan tertentu. Akibatnya, hakim harus menggali hukum materiil
yang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya dari: Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional, Kitab-kitab Fiqh, Undang-Undang
Perbankan, Peraturan Bank Indonesia, dan rujukan lain. Kendala ini tidak
terlalu dominan, karena umumnya para hakim Pengadilan Agama berlatar belakang
Sarjana Syariah yang tentu saja pernah mempelajari hukum ekonomi syariah/ hukum
muamalah.
Bertambahnya
kewenangan Pengadilan Agama tersebut yang belum diimbangi dengan payung hukum (umbrella
provision) yang memadai, hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan fungsi
yudikatif apabila tidak menemukan payung hukum, tidak sedikit yang
mempertimbangkan faktor budaya, baik yang terekam dalam beberapa buku fiqih
madzhab ataupun yang hidup dalam masyarakat (the living law).[5] Hal ini merupakan
kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya.
Oleh karena itu, setiap hakim dalam lingkungan Peradilan Agama dituntut supaya
mengembangkan kemampuan ijtihad-nya (rechtvinding). Termasuk
dalam katagori ijtihad disini adalah ia berusaha mencari atau memberikan
keputusan hukum yang lebih sesuai dan adil dalam upaya mengembangkan sistem
hukum itu sendiri.
Dalam
teori hukum Islam (Islamic legal theory), pada dasarnya apabila hakim
mendasarkan putusannya kepada pendapat para ahli fiqih (imam madzhab/ fuqaha)
dengan memahami dan mengerti baik cara maupun alasan-alasan yang menjadi dasar
yang bersangkutan menetapkan garis-garis hukum terhadap kasus tertentu, maka
hakim yang demikian menggunakan cara ittiba’ yaitu mengikuti pendapat
madzhab fiqih tertentu dengan mengetahui alasan-alasan penetapan hukumnya,
dalam ajaran Islam hal ini dibolehkan. Namun apabila hakim dalam menyelesaikan
perkara secara membabi buta mengikuti madzhab tertentu sesuai yang diikutinya,
padahal garis hukum yang dibuat oleh madzhab yang dianutnya tersebut belum
tentu cocok diterapkan pada kondisi sekarang, yakni masih memerlukan
pengkajian-pengkajian secara seksama, maka jalur yang digunakan oleh hakim
tersebut disebut taklid, dalam ajaran Islam hal ini dilarang.[6] Perbedaan antara
putusan hakim dengan fiqih madzhab sangat dimungkinkan terjadi, mengingat
kebenaran doktrin fikih pada dasarnya adalah bersifat nisbi dan sangat
dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu saat fiqih dibuat.[7]
Dalam
perspektif azas legalitas dan persamaan di depan hukum, sebagaimana diatur
dalam pasal 58 ayat (1) UUPAg bahwa: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang” Apabila dikaitkan uraian tersebut di atas,
seharusnya pengadilan menegakkan hukum melalui putusan yang berlandaskan hukum,
sehingga mengarah pada suatu kesatuan tindakan dan arah penegakan hukum (law
enforcement) bertindak menurut rule of law. Artinya, Hakim Agama
dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya tidak boleh melampaui hukum. Semua
yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan, harus
menurut hukum.[8] Hakim mendasarkan
putusannya berdasarkan kitab-kitab produk ijtihad para ahli atau Imam Madzhab di
atas mempunyai dua konotasi. Dalam teori hukum Islam (Islamic legal theory),
apabila hakim tersebut mendasarkan putusannya kepada pendapat para ahli fikih
(imam madzhab/ fuqaha) dengan memahami dan mengerti baik cara maupun
alasan-alasan yang menjadi dasar yang bersangkutan menetapkan garis-garis hukum
terhadap kasus tertentu, maka hakim yang demikian menggunakan cara ittiba’
dalam ajaran Islam hal ini dibolehkan.
Namun
apabila hakim dalam menyelesaikan perkara secara membabi buta mengikuti madzhab
tertentu sesuai yang diikutinya, padahal garis hukum yang dibuat oleh madzhab
yang dianutnya tersebut belum tentu cocok diterapkan pada kondisi sekarang,
yakni masih memerlukan pengkajian-pengkajian secara seksama, maka jalur yang
digunakan oleh hakim tersebut disebut taklid, dalam ajaran Islam hal ini
dilarang.[9] Contohnya yaitu
Hakim Agama yang mendasarkan putusannya semata-mata atas dasar doktrin madzab
yang dianutnya dengan tidak memperhatikan madzhab yang diikuti oleh para pihak
atau nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat, berarti hakim tersebut
telah menjadikan madzhabnya sebagai kitab hukum, maka hal ini bertentangan
dengan azas hukum yang menyatakan bahwa putusan pengadilan berdasarkan hukum,
dan dalam teori hukum Islam hakim yang demikian termasuk hakim taklid buta
(muqallid) yang dilarang (diharamkan) dalam Islam.
Tradisi civil
law dan common law dicermati, fiqih mempunyai pengertian yang sama
dengan yurisprudensi sebagai ilmu hukum tetapi pemahaman yang berkembang di
Indonesia, keduanya mempunyai pengertian yang berbeda. Disatu pihak,
yurisprudensi adalah putusan pengadilan, sedangkan dilain pihak fikih adalah
pendapat tertentu mengenai hukum (legal opinion).[10] Bukti kongkrit dari eratnya hubungan
fiqih para fuqaha dengan ekonomi syari’ah atau lembaga keuangan yang berkembang
di Indonesia, dapat dilihat di bidang perbankan syariah. Umat Islam yang
terlibat sebagai pelaku ekonomi syariah, sebagian merasa bahwa melakukan
transaksi syariah merupakan bagian dari melaksanakan ajaran Islam, sebagai
aktualisasi dari rasa keimanan kepada Allah Swt., karena kegiatan ekonomi
syari’ah dilandasi oleh ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an,
as-Sunnah, al-Ijma dan al-Qiyas.[11] Dalam Surat Yunus
Ayat 59 Allah berfirman, yang artinya:
ö@è% OçF÷uäur& !$¨B tAtRr& ª!$# Nä3s9 ÆÏiB 5-øÍh OçFù=yèyfsù çm÷ZÏiB $YB#tym Wx»n=ymur ö@è% ª!!#uä cÏr& öNä3s9 ( ôQr& n?tã «!$# crçtIøÿs? ÇÎÒÈ
“Katakanlah,
terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu
jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah
telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah.”
F.
Metode
Penelitian
Untuk mengumpulkan data-data, baik data primer maupun data
skunder yang dapat dijadikan bahan dalam
penulisan menggunakan metode penelitian hokum normative, yaitu dengan melakukan
penelitian kepustakaan. Dan untuk menunjang data sekunder digunakan metode
wawancara untuk mendapatkan data primer.
1.
Metode kepustakaa
Melakukan penelitian
kepustakaan untuk mendapatkan data-data sekunder yang releven dengan masalah
yang dibahas, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap bahan hokum primer
yang meliputi peraturan perundang-undangan perbankan dan dengan melakukan
penelitian terhadap bahan hokum sekunder yang meliputi buku-buku yang
berhubungan dengan masalah yang dibahas dan artikel majalah atau harian.
2.
Metode wawancara
Melakukan wawancara
dengan narasumber untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan masalah
yang dibahas.
3.
Analisa data
Untuk memperoleh hasil
akhir yang dapat dipertanggung jawabkan dari data yang telah terkumpul, penulis
menggunakan analisis secara deskriptif. Analisis deskriptif merupakan suatu
cara untuk mengungkapkan masalah atau peristiwa sebagaimana adanya serta
bersifat sekedar mengungkapkan fakta untuk memperoleh gambaran yang jelas dan
lengkap dan selanjutnya dibuat analisa yang kemudian menghubungkan analisa
tersebut dengan teori-teori ilmu hokum yang ada sehingga dapat ditarik
kesimpulan.
G.
Sistematika
Penulis
Adapun sistematika pada penelitian ini
adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Bab
ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metode
penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II Landasan Teori
Bab
ini akan membahas tentang kajian teori yang berisi dasar-dasar hukum perbankan
syariah serta beberapa penafsiran Undang-Undang Republik Indonesia No 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah BAB IX
pasal 55 ayat 2 dan mengkaji hukum positif di Indonesia, selain itu juga
terdiri dari tinjauan peneliti terdahulu, kerangka berfikir dan hipotesis.
BAB III Pembahasan
Bab
ini akan membahas tentang teori-teori, dasar-dasar hukum islam dan hukum positf
Indonesia dan ruang lingkup peradilan agama yang menangani perkara perdata di
bidang ekonomi islam.
BAB IV Analisis
Bab
ini akan membahas tentang analisis dari hasil penelitian penyelesaian sengketa
perbankan syariah di ruang lingkup peradilan agama.
BAB V Penutup
Bab
ini berisi kesimpulan-kesimpula dan saran-saran serta berbagai solusi yang
dapat penulis sampaikan.
Daftar
Pustaka










[1] Renny Supriyatni, FH.UNISBA, VOL. XII. NO. 3 NOVEMBER 2010, Hal.
189
[2] Yusuf Wibisono, Bisnis &
Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2009, Hal.
111-112
[3] Ibid, Yusuf Wibisono, Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi
[4] http//www.badilag. co.id.
[5] Ijtihad: Upaya optimal para
fuqaha, dengan menggunakan akal pikiran ketika menemui
masalah-masalah/peristiwa hukum yang belum diatur baik dalam al quran maupun
hadist secara gambling untuk dicarikan jalan keluarnya.
[6] Moh. Idris Ramulyo, Asas-Asas
Hukum Islam (Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam
Sistem Hukum di Indonesia), Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 70.
[7] Muhammad Amin Suma, Tinjauan
Fiqh Islam Terhadap Yurisprudensi Peradilan agama dari Pelaksanaan
Undang-Undang Peradilan Agama (Dalam Laporan Seminar 10 Tahun Undang-Undang
Peradilan Agama Kerjasama DITBAPERA-Islam, Fakultas Hukum UI, dan Pusat
Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Chasindo, Jakarta, 1989, hlm. 63.
[8] M. Yahya Harahap, Arah Tujuan
Kompilasi Hukum Islam, Buletin Hikmah Th. I N0. 2, 1986, Surabaya, hlm.
82.
[9] Moh.Idris Romulyo, op.cit.,
hlm. 5.
[10] Rifyal Ka’bah, Penegakan
Syari’at Islam di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta, 2004, hlm. 110. Legal
opinion disini adalah kaitannya pendapat hukum yang dikeluarkan oleh Dewan
Syari’ah Nasional (DSN) mengenai hukum Islam berkenaan dengan kegiatan dibidang
ekonomi syari’ah.
[11] Tim Pengembangan Perbankan
syari’ah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi
Operasional Bank Syari’ah, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar