Selasa, 15 Januari 2013

Latihan Proposal Penelitian


A.    Latar belakang
Ekonomi syariah hadir dalam ranah sistem hukum nasional yang terus berkembang dan semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development, agent of modernization dan hukum sebagai a tool of social engineering.[1] Hal ini seiring dengan perkembangan lembaga ekonomi/ keuangan syariah di Indonesia, maka akan ada perbedaan kepentingan (conflict of interest) dengan dunia Peradilan khususnya Peradilan Agama, titik singgung yang dimaksud adalah dalam hal penyelesaian sengketanya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UUPAg.) telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini, dimana salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syariah.
Melihat informasi lebil luas bahwa beberapa masalah substantive ekonomi, UU PS juga masih menyimpan sejumlah masalah yuridisformal. Terkait ketentuan tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah. Pada Bab IX UU PS tercantum bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, namun dimungkinkan penyelesaian dilakukan di pengadilan umum sepanjang sesuai isi Akad. Ketentuan ini merupakan hasil kompromi dari rancangan awal dimana penyelesaian sengketa dilakukan oleh pengadilan umum.[2] Secara yuridis, ketentuan kompromi ini tetap bermasalah karena secara jelas bertabrakan dengan ketentuan yang telah ada di UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dimana peradilan agama berwenang secara penuh untuk menerima dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Ketentuan ini juga konflik dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang telah memberi legitimasi kompetensi absolut peradilan agama sebagai peradilan yang berwenang menangani perkara-perkara dalam ranah hukum Islam, termasuk didalamnya ekonomi syariah.
Secara metodologis, masuknya aturan penyelesaian sengketa dalam UU PS merupakan hal tidak lazim dan berpotensi menyalahi UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penyelesaian sengketa masuk dalam ranah kekuasaan kehakiman, bukan ranah bisnis sehingga seharusnya tidak masuk dalam UU PS ini. Pengalaman negara-negara lain tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah menunjukkan kesimpulan yang ambigu.[3] Di Malaysia, penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan umum. Sedangkan di Qatar, sebelum sistem kehakiman digabung pada Oktober 2004, sengketa perbankan syariah diselesaikan oleh pengadilan syariah.
B.     Rumusan Masalah
Pada Informasi yang di dapat bahwa dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah/ perbankan syariah di pengdilan agama masih banyak pertimbangan atau ketidak jelasan baik dari undang-undang, pemerintah maupun dari sumber-sumber yang ada. Oleh karena itu peneliti menarik beberapa permasalahan yang akan di bahas yaitu:
1.      Apa yang mendasari penyelesaian sengketa ekonomi islam/ perbankan syariah di ambil alih oleh Pengadilan Agama dan pada kondisi apakah kasus tersebut benar-benar di ambil alih.
2.      Bagaimana keberadaan Pengadilan Agama ketika sengketa ekonomi islam/ perbankan syariah diselesaikan sesuai dengan isi akad berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah  BAB IX pasal 55 ayat 2.
3.      Bagaimana kewenangan dan penyelesaiannya Hakim di Pengadilan Agama pada sengketa ekonomi islam/ perbankan syariah, padahal di Indonesia belum ada hukum materiil ekonomi syariah yang terkumpul pada suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Dan apakah fiqh muamalah sangat berperan di dalam pengambilan keputusan serta penyelesaian hal tersebut.
C.      Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.      Tujuan Penelitian adalah:
Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui mekanisme dan ketidak jelasan pada penafsiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah  BAB IX pasal 55 serta mencari tau dan menentukan bagaimana penerapan fiqih muamalah sebagai landasan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama yang sesuai dengan prinsip syariah serta menginventarisasi aktualisasi hukum materil fiqih muamalah yang telah menjadi hukum positif di Indonesia.
2.      Manfaat Penelitian adalah:
                                   i.      Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan hukum tentang penerapan fiqih muamalah sebagai salah satu landasan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama yang sesuai dengan prinsip syariah khususnya hukum Islam sebagai sumbangsih pemikiran bagi perkembangan bidang ilmu hukum, khususnya hukum penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
                                 ii.      Secara praktis, meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap penerapan dan pelaksanaan aturan mengenai fiqih muamalah sebagai salah satu landasan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama yang sesuai dengan prinsip syariah.
D.     Kajian Pustaka
Undang-Undang Republik Indonesia No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah  BAB IX pasal 55 ayat 2 yang mencakup tentang sengketa ekonomi isalam/ perbankan syariah hanya menetapkan bagaimana pengambil alihan kasus tersebut di selesaikan oleh pengadilan agama, akan tetapi tidak merumuskan bagaimana tindakan-tindakan hakim menyelesaikan perkara sengketa tersebut padahal dalam hal ini hokum tetap untuk menangani sengketa ekonomi islam belum ada. Dalam hal ini upaya-upaya yang dilakukan peneliti hanyalah sebatas bagaimana proses sengketa tersebut di selesaikan, dan akan dikaitkan dengan hukum-hukum islam khususnya di bidang muamalah.
Pada penelitian ini mengambil beberapa refrensi dari buku khususnya dalam buku (M. Thahir Azhari “Islam ,Hukum Islam dan Eksistensi Arbitrase Islam Di Indonesia,” BAMUI-BMI, Jakarta, 1994) yang mencakup tentang bagaimana hokum islam diterapkan dalam hukum positif Indonesia. Kemudian mengenai keberadaan pengadilan agama ketika sengketa ekonomi islam tersebut di selesaikan dengan musyawarah, dan di pengadilan umum sesuai penjelasan pasal 55 ayat 2 maka peneliti mengambil dari buku (Muhammad Amin Suma, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Yurisprudensi Peradilan agama dari Pelaksanaan Undang-Undang Peradilan Agama (Dalam Laporan Seminar 10 Tahun Undang-Undang Peradilan Agama Kerjasama DITBAPERA-Islam, Fakultas Hukum UI, dan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Chasindo, Jakarta, 1989). Adapun refrensi dari jurnal khususnya yang menarik peneliti untuk meneliti studi ini yaitu peneliti ambil dari jurnal (Politik Ekonomi Uu Perbankan Syariah Peluang Dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah oleh Yusuf Wibiso No.1, Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2009, hlm. 105-115).
Untuk  menjaga ke aslian atau ke originalan penelitian yang membedakan dengan penelitian lain khususnya (Penerapan Fiqih Muamalah Sebagai Dasar Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Oleh : Hj. Renny Supriyatni) bahwa dalam penelitian tersebut hanyalah mengkaji tentang bagaimana penerapan fiqih muamalah sebagai dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah tidak mengkaji tentang keberadaan Pengadilan Agama ketika penyelesaiannya melalui yang dijelaskan pasal 55 ayat 2. Pada penelitian penulis ini lebih menekankan dan menjelaskan tentang penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah  BAB IX pasal 55 ayat 2. Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti mengambil judul tentang (Analisis Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama.
E.      Kerangka teori
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UUPAg.) telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini, dimana salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syariah. Berdasarkan data yang yang diperoleh dari Ditjen Badan Peradilan Agama yang diakses melalui situs Badan Peradilan Agama,[4] hakim Pengadilan Agama yang menangani perkara ekonomi syariah mengalami sedikit kendala dalam melaksanakan tugasnya. Kendala dimaksud antara lain:
1.      Baru pertama kali menangani perkara ekonomi syariah, sehingga wajar apabila pengetahuan dan keterampilan hakim dalam menangani perkara tersebut belum memadai.
2.      Masih belum ada hukum materiil ekonomi syariah yang terkumpul pada suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Akibatnya, hakim harus menggali hukum materiil yang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya dari: Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional, Kitab-kitab Fiqh, Undang-Undang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia, dan rujukan lain. Kendala ini tidak terlalu dominan, karena umumnya para hakim Pengadilan Agama berlatar belakang Sarjana Syariah yang tentu saja pernah mempelajari hukum ekonomi syariah/ hukum muamalah.
Bertambahnya kewenangan Pengadilan Agama tersebut yang belum diimbangi dengan payung hukum (umbrella provision) yang memadai, hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan fungsi yudikatif apabila tidak menemukan payung hukum, tidak sedikit yang mempertimbangkan faktor budaya, baik yang terekam dalam beberapa buku fiqih madzhab ataupun yang hidup dalam masyarakat (the living law).[5] Hal ini merupakan kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya. Oleh karena itu, setiap hakim dalam lingkungan Peradilan Agama dituntut supaya mengembangkan kemampuan ijtihad-nya (rechtvinding). Termasuk dalam katagori ijtihad disini adalah ia berusaha mencari atau memberikan keputusan hukum yang lebih sesuai dan adil dalam upaya mengembangkan sistem hukum itu sendiri.
Dalam teori hukum Islam (Islamic legal theory), pada dasarnya apabila hakim mendasarkan putusannya kepada pendapat para ahli fiqih (imam madzhab/ fuqaha) dengan memahami dan mengerti baik cara maupun alasan-alasan yang menjadi dasar yang bersangkutan menetapkan garis-garis hukum terhadap kasus tertentu, maka hakim yang demikian menggunakan cara ittiba’ yaitu mengikuti pendapat madzhab fiqih tertentu dengan mengetahui alasan-alasan penetapan hukumnya, dalam ajaran Islam hal ini dibolehkan. Namun apabila hakim dalam menyelesaikan perkara secara membabi buta mengikuti madzhab tertentu sesuai yang diikutinya, padahal garis hukum yang dibuat oleh madzhab yang dianutnya tersebut belum tentu cocok diterapkan pada kondisi sekarang, yakni masih memerlukan pengkajian-pengkajian secara seksama, maka jalur yang digunakan oleh hakim tersebut disebut taklid, dalam ajaran Islam hal ini dilarang.[6] Perbedaan antara putusan hakim dengan fiqih madzhab sangat dimungkinkan terjadi, mengingat kebenaran doktrin fikih pada dasarnya adalah bersifat nisbi dan sangat dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu saat fiqih dibuat.[7]
Dalam perspektif azas legalitas dan persamaan di depan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 58 ayat (1) UUPAg bahwa: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang” Apabila dikaitkan uraian tersebut di atas, seharusnya pengadilan menegakkan hukum melalui putusan yang berlandaskan hukum, sehingga mengarah pada suatu kesatuan tindakan dan arah penegakan hukum (law enforcement) bertindak menurut rule of law. Artinya, Hakim Agama dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya tidak boleh melampaui hukum. Semua yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan, harus menurut hukum.[8] Hakim mendasarkan putusannya berdasarkan kitab-kitab produk ijtihad para ahli atau Imam Madzhab di atas mempunyai dua konotasi. Dalam teori hukum Islam (Islamic legal theory), apabila hakim tersebut mendasarkan putusannya kepada pendapat para ahli fikih (imam madzhab/ fuqaha) dengan memahami dan mengerti baik cara maupun alasan-alasan yang menjadi dasar yang bersangkutan menetapkan garis-garis hukum terhadap kasus tertentu, maka hakim yang demikian menggunakan cara ittiba’ dalam ajaran Islam hal ini dibolehkan.
Namun apabila hakim dalam menyelesaikan perkara secara membabi buta mengikuti madzhab tertentu sesuai yang diikutinya, padahal garis hukum yang dibuat oleh madzhab yang dianutnya tersebut belum tentu cocok diterapkan pada kondisi sekarang, yakni masih memerlukan pengkajian-pengkajian secara seksama, maka jalur yang digunakan oleh hakim tersebut disebut taklid, dalam ajaran Islam hal ini dilarang.[9] Contohnya yaitu Hakim Agama yang mendasarkan putusannya semata-mata atas dasar doktrin madzab yang dianutnya dengan tidak memperhatikan madzhab yang diikuti oleh para pihak atau nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat, berarti hakim tersebut telah menjadikan madzhabnya sebagai kitab hukum, maka hal ini bertentangan dengan azas hukum yang menyatakan bahwa putusan pengadilan berdasarkan hukum, dan dalam teori hukum Islam hakim yang demikian termasuk hakim taklid buta (muqallid) yang dilarang (diharamkan) dalam Islam.
Tradisi civil law dan common law dicermati, fiqih mempunyai pengertian yang sama dengan yurisprudensi sebagai ilmu hukum tetapi pemahaman yang berkembang di Indonesia, keduanya mempunyai pengertian yang berbeda. Disatu pihak, yurisprudensi adalah putusan pengadilan, sedangkan dilain pihak fikih adalah pendapat tertentu mengenai hukum (legal opinion).[10]  Bukti kongkrit dari eratnya hubungan fiqih para fuqaha dengan ekonomi syari’ah atau lembaga keuangan yang berkembang di Indonesia, dapat dilihat di bidang perbankan syariah. Umat Islam yang terlibat sebagai pelaku ekonomi syariah, sebagian merasa bahwa melakukan transaksi syariah merupakan bagian dari melaksanakan ajaran Islam, sebagai aktualisasi dari rasa keimanan kepada Allah Swt., karena kegiatan ekonomi syari’ah dilandasi oleh ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma dan al-Qiyas.[11] Dalam Surat Yunus Ayat 59 Allah berfirman, yang artinya:
ö@è% OçF÷ƒuäur& !$¨B tAtRr& ª!$# Nä3s9 ÆÏiB 5-øÍh OçFù=yèyfsù çm÷ZÏiB $YB#tym Wx»n=ymur ö@è% ª!!#uä šcÏŒr& öNä3s9 ( ôQr& n?tã «!$# šcrçŽtIøÿs? ÇÎÒÈ 
Katakanlah, terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah.


F.       Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan data-data, baik data primer maupun data skunder yang dapat dijadikan bahan  dalam penulisan menggunakan metode penelitian hokum normative, yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan. Dan untuk menunjang data sekunder digunakan metode wawancara untuk mendapatkan data primer.
1.      Metode kepustakaa
Melakukan penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data-data sekunder yang releven dengan masalah yang dibahas, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap bahan hokum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan perbankan dan dengan melakukan penelitian terhadap bahan hokum sekunder yang meliputi buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dan artikel majalah atau harian.
2.      Metode wawancara
Melakukan wawancara dengan narasumber untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
3.      Analisa data
Untuk memperoleh hasil akhir yang dapat dipertanggung jawabkan dari data yang telah terkumpul, penulis menggunakan analisis secara deskriptif. Analisis deskriptif merupakan suatu cara untuk mengungkapkan masalah atau peristiwa sebagaimana adanya serta bersifat sekedar mengungkapkan fakta untuk memperoleh gambaran yang jelas dan lengkap dan selanjutnya dibuat analisa yang kemudian menghubungkan analisa tersebut dengan teori-teori ilmu hokum yang ada sehingga dapat ditarik kesimpulan.
G.    Sistematika Penulis
Adapun sistematika pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II Landasan Teori
Bab ini akan membahas tentang kajian teori yang berisi dasar-dasar hukum perbankan syariah serta beberapa penafsiran Undang-Undang Republik Indonesia No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah  BAB IX pasal 55 ayat 2 dan mengkaji hukum positif di Indonesia, selain itu juga terdiri dari tinjauan peneliti terdahulu, kerangka berfikir dan hipotesis.
BAB III Pembahasan
Bab ini akan membahas tentang teori-teori, dasar-dasar hukum islam dan hukum positf Indonesia dan ruang lingkup peradilan agama yang menangani perkara perdata di bidang ekonomi islam.
BAB IV Analisis
Bab ini akan membahas tentang analisis dari hasil penelitian penyelesaian sengketa perbankan syariah di ruang lingkup peradilan agama.
BAB V Penutup
Bab ini berisi kesimpulan-kesimpula dan saran-saran serta berbagai solusi yang dapat penulis sampaikan.


Daftar Pustaka

*      Achmad Heidar, “Arti dan Mekanisme Musyawarah”, Majalah Padjadjaran, FH-Unpad, Bandung, 1994.
*      Ahmad Azhar Basyir, Riba,Utang-Piutang dan Gadai, Alma’arif, Bandung, 1983.
*      Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah Dalam penerapan ADR, Makalah, FH-Unpad, 1997.
*      Marianna Sutadi, “Arbitrase dan Mediasi Dalam Praktek Peradilan”, Talkshow tentang “Arbitrase dan Mediasi”, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, diselenggarakan pada tanggal 12 Maret 2007.
*      M. Daud Ali, “Asas-asas Hukum Islam (Hukum Islam I ) Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia” Rajawali Press, Cetakan Ketiga, Jakarta, 1993.
*      Mochtar Naim, Kompendium Himpunan Ayat-ayat Al-Qur’an yang Berkaitan dengan Hukum, Hasanah, Jakarta, 2001.
*      Moh. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam (Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia), Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
*      M. Thahir Azhari “Islam ,Hukum Islam dan Eksistensi Arbitrase Islam Di Indonesia,” BAMUI-BMI, Jakarta, 1994.
*      Muhammad Amin Suma, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Yurisprudensi Peradilan agama dari Pelaksanaan Undang-Undang Peradilan Agama (Dalam Laporan Seminar 10 Tahun Undang-Undang Peradilan Agama Kerjasama DITBAPERA-Islam, Fakultas Hukum UI, dan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Chasindo, Jakarta, 1989.
*      M. Yahya Harahap, Arah Tujuan Kompilasi Hukum Islam, Buletin Hikmah Th. I N0. 2, 1986, Surabaya.


[1] Renny Supriyatni, FH.UNISBA, VOL. XII. NO. 3 NOVEMBER 2010, Hal. 189
[2] Yusuf Wibisono, Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2009, Hal. 111-112
[3] Ibid, Yusuf Wibisono, Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi
[4] http//www.badilag. co.id. 
[5] Ijtihad: Upaya optimal para fuqaha, dengan menggunakan akal pikiran ketika menemui masalah-masalah/peristiwa hukum yang belum diatur baik dalam al quran maupun hadist secara gambling untuk dicarikan jalan keluarnya. 
[6] Moh. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam (Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia), Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 70. 
[7] Muhammad Amin Suma, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Yurisprudensi Peradilan agama dari Pelaksanaan Undang-Undang Peradilan Agama (Dalam Laporan Seminar 10 Tahun Undang-Undang Peradilan Agama Kerjasama DITBAPERA-Islam, Fakultas Hukum UI, dan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Chasindo, Jakarta, 1989, hlm. 63. 
[8] M. Yahya Harahap, Arah Tujuan Kompilasi Hukum Islam, Buletin Hikmah Th. I N0. 2, 1986, Surabaya, hlm. 82. 
[9] Moh.Idris Romulyo, op.cit., hlm. 5. 
[10] Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta, 2004, hlm. 110. Legal opinion disini adalah kaitannya pendapat hukum yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) mengenai hukum Islam berkenaan dengan kegiatan dibidang ekonomi syari’ah. 
[11] Tim Pengembangan Perbankan syari’ah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 13 


Tidak ada komentar: