Minggu, 20 Januari 2013

Penganiayaan



                     I.            Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia sering kali kita temui adanya kekerasan terhadap sesama. Ada kekerasan yang dapat menyebabkan kematian, dan ada juga yeng tidak menyebabkan kematian. Kekerasan yang menyebabkan kematian disebut pembunuhan, dan kekerasan yang tidak menyebabkan kematian disebut penganiayaan. Dalam pembahasan kali ini saya akan mengulas tentang penganiayaan yang tidak disengaja baik.
                  II.            Rumusan Masalah
A.    Apa saja yang menjadi objek/sasaran penganiayaan yang tidak sengaja?
B.     Bagaimana pandangan hukum islam terhadap kasus ini!
C.     Apa sanksi yang diberikan kepada pelaku penganiayaan yang tidak disangaja?
               III.            Pembahasan
A.      Pengertian penganiayaan tidak sengaja
Menurut Abdul al-Qadir Audah, penganiayaan tidak sengaja adalah pelaku sengaja melakukan perbuatan tersebut tetepi tidak berniat melawan hukum[1]. Seseorang tersebut memang sengaja melakukan tindak pidana penganiayaan, tetapi si pelaku tidak berniat untuk melukai korban. Namun pada hakekatnya terdapat korban akibat perbuatannya itu. Seperti seorang melempar batu dengan tujuan membuangnya karena kurang berhati-hati sehingga batu tersebut mengenai orang dan melukainya.
Terkait pengklasifikasian jarimah  penganiayaan antara sengaja dan tidak sengaja, terjadi friksi di kalangan para fuqaha’. Golongan Syafi’iyyah dan Hanabilah berasumsi bahwa dalam tindak pidana penganiayaan terdapat pembagian yang ketiga, yakni Syibh al-amd atau menyerupai sengaja. Tindak pidana sengaja berbeda dengan kelaliman, baik dari segi substansi perbuatan maupun hukumnya. Namun dalam hukum dan ketentuannya terkadang sama. Oleh karena itu, para fuqaha’ menggabungkan dalam satu pembahasan.
Sebab tindak pidana penganiayaan yang dilihat adalah obyek serta akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Ditinjau dari segi obyek atau sasarannya Para ulama ahli fiqih membagi tindak pidana penganiayaan manjadi lima bagian, baik tindak pidana penganiayaan sengaja maupun tindak pidana penganiayaan tidak sengaja. Dimana pembagian ini merupakan kesimpulan dari berbagai pendapat mengenai perbuatan pidana.
a.    Penganiayaan pada anggota dan sejenisnya (Atraf) Menurut para fuqaha’ meliputi tangan dan kaki. Namun pengertian tersebut juga dimaksudkan pada anggota badan selain atraf yakni jari, kuku, gigi, rambut, jenggot, lidah, alis, mata, bibir, dan bibir kemaluan wanita.
b.   Menghilangkan manfaat anggota badan namun jenisnya masih utuh. Penganiayaan ini merupakan perusakan anggota badan namun objeknya masih ada, seperti menghilangkan fungsi  pendengaran tetapi telingahnya masih ada.
c.    Al-syajjaj. Menurut Imam Abu Hanifah, al-Syajjaj merupakan pelukaan khusus pada wajah dan kepala, namun khusus pada bagian tulangnya seperti dahi. Sedangkan pipi yang mengandung banyak daging tidak termasuk pada Al-syajjaj. Namun ulama lain berpendapat bahwa Al-syajjaj mutlak pelukaan pada wajah dan kepala. Imam Abu hanifah membagi Al-Syajjaj di antaranya:
                                                              i.            Al-Harishah
                                                            ii.            Al-Bazilah.
                                                          iii.            Al-Badli’ah.
                                                          iv.            Al-Mutalahimah.
                                                            v.            As-Simhaq.
                                                          vi.            Al-Mudlihah.
                                                        vii.            Al-Hasyimah.
                                                      viii.            Al-Munaqqilah.
                                                          ix.            Al-Ma’mumah.
                                                            x.            Ad-DamighahAl-jirah.
d.      Al-jirah ini dibagi menjadi dua yaitu:
1)      Jaifah yaitu pelukaan yang sampai kebagian dalam dari dada dan perut, baik pelukaannya dari depan, belakang, maupun samping.
2)      Ghair jaifah yaitu pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam dari dada atau perut, melainkan hanya pada bagian luar saja.
e.       Tindakan selain yang telah disebutkan di atas.
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah setiap tindakam pelanggaran, atau menyakitkan yang tidak sampai merusak athraf atau menghilangkan manfaatnya, dan tidak pula menimbulkan luka syajjaj atau  jirah. Contoh seorang yang memukul tangan, wajah dan sebagainya kepada orang lain akan tetapi hanya menyebabkan memar.
B.     Pandangna hukum islam terhadap penganiayaan tidak sengaja.
Dalam kasus penganiayaan yang tidak sengaja  sanksi atau hukuman yang setimpal untuk kasus ini adalah diat sebagai mana penjelasan yaitu
Diat adalah hukuman pokok untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan menyerupai sengaja dan tidak sengaja. Ketentuan ini didasarkan kepada Firman Allah Swt dalam surah An-Nisaa’ ayat 92 yang artinya:

$tBur šc%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& Ÿ@çFø)tƒ $·ZÏB÷sãB žwÎ) $\«sÜyz 4 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr& HwÎ) br& (#qè%£¢Átƒ 4 bÎ*sù šc%x. `ÏB BQöqs% 5irßtã öNä3©9 uqèdur ÑÆÏB÷sãB ㍃̍óstGsù 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( ÇÒËÈ. . .  
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)[2], dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat[3] yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.[4]. (An-Nisaa’ ayat 92)

Meskipun bersifat hukuman, namun diat merupakan harta yang diberikan kepada korban atau keluarganya, bukan kepada berbendaharaan Negara dalam hal ini diat hampir mirip dengan ganti kerugian.
Dalam kasus jinâyah (kejahatan/pidana), terkadang korban tidak mengalami kematian, akan tetapi hanya menderita cacat atau terkena luka yang dapat disembuhkan. Dalam Islam, balasan pidana ini adalah qishâsh, sebagai keadilan yang Allah Ta'ala tegakkan di muka bumi. Ini menunjukkan bahwa pada luka juga terdapat hukum qishash. Dan ini adalah syariat umat sebelum umat ini, seperti yang sebutkan pada firman Allah Ta'ala:
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 . . .ÇÍÎÈ  
"Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishashnya." (Qs al-Maidah 5:45)
Dari ayat di atas, diketahui bahwa hukum asal jinayah adalah qishash. akan tetapi, terkadang hukum asal ini (qishash) terhalang dengan beberapa mawani’ (penghalang), sehingga al-jani (pelaku jinayah) diberi hukuman lain yaitu diyat (denda) sebagai ganti rugi dari kerusakan yang ditimbulkan.
Penghalang/Pembatal Qishash Anggota Tubuh. Adapun penghalang-penghalang qishâsh yang telah digariskan syari’at untuk diganti dengan diyat adalah sebagai berikut:
1.      Al-Ubuwwah: maksudnya pelaku jinayah adalah bapak dari korban tersebut. Dasarnya adalah hadits Rasulullah Salallahu'alaihi wassalam: Dari Umar bin Khaththâb radhiallahu'anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullâh Salallahu'alaihi wassalam bersabda, “Bapak tidak boleh diqishash pada jinayahnya terhadap anak.”
2.      Yang bersangkutan memberikan maaf dan rela dengan diyat. Allah Ta'ala berfirman:
"Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
3.      Tidak sekufu’, maksudnya tidak sepadan antara al-jani (pelaku) dan al-majny ‘alaihi (korban). Yang dimaksud sekufu’ di sini menurut jumhur Ulama’ ialah dalam dua hal, yang Pertama, huriyyah (status merdeka atau budak), dan yang Kedua adalah status agama.
4.      Ketidaksengajaan (al-khata’) atau bahkan menurut Syafi‘iyah dan Hanabilah pada kasus syibhul ‘amdi (mirip disengaja) termasuk dari penghalang qishash.

C.     Hukuman atau sanksi terhadap penganiayaan tidak sengaja.
Diyat (Denda) Anggota Badan Pada jinayah ma duna nafs (non kematian) ini memiliki empat kategori diyat apabila qishâsh terhalang, yaitu:
a)      Diyat pada jinayah yang berakibat hilangnya salah satu anggota badan.
b)      Diyat pada jinayah yang menimbulkan hilangnya suatu manfaat dari anggota badan.
c)      Diyat pada jinayah yang berupa luka di kepala, wajah atau badan.
d)     Diyat pada jinayah yang mengakibatkan patah tulang.

Adapun perincian diyat pada jinayah- jinayah tersebut ialah:
1.      Diyat pada jinayah yang berakibat hilangnya salah satu anggota badan dalam tubuh manusia terdapat 45 anggota badan. Dari anggota itu ada yang berjumlah satu, dan ada juga yang berjumlah sepasang atau berjumlah lebih dari itu. Maka, setiap jenis anggota tersebut memiliki diyat yang berbeda-beda. Adapun pembagiannya yaitu:
a.       Bagian tubuh yang berjumlah tunggal seperti; lidah, hidung, dzakar atau kulup, Shulb/tulang belakang (syaraf reproduksi), saluran kemih, rambut kepala, jenggot bila tidak tumbuh lagi. Maka diyatnya utuh 100 ekor onta yaitu seperti diyat Nafs (jiwa). Khusus untuk kasus hidung, maka diyatnya sempurna, dan hidung terdiri dari tiga bagian, yaitu dua rongga dan satu pembatas rongga hidung. Apabila kerusakan terjadi pada salah satu bagian tersebut, maka diyatnya sepertiga.
b.      Anggota badan yang berpasangan (berjumlah dua) seperti, mata, telinga, tangan, bibir, tulang geraham, kaki, puting susu, pantat, biji dzakar, maka pada keduannya diyatnya sempurna, dan pada salah satunya diyatnya setengah. Kedua hal di atas berasal dari Sabda Rasulullâh Salallahu’alaihi wassalam. Dari ‘Amru bin Hazm bahwa Rasullullâh Salallahu'alaihi wassalam menulis untuknya, dalam ditulisan itu, “Pada hidung yang terpotong diyatnya utuh, pada lidah diyatnya utuh, pada kedua bibir diyatnya utuh, pada dua buah biji dzakar diyatnya utuh, pada batang kemaluan diyatnya utuh, pada shulb (tulang syaraf reproduksi) diyatnya utuh, pada kedua mata diyatnya utuh, dan pada satu kaki diyatnya setengah.”[5]
c.       Anggota badan yang berjumlah empat seperti; kelopak mata, atau bulu mata bila membuatnya tidak tumbuh lagi, maka pada setiap bagian tersebut diyatnya seperempat, dan bila terpotong semua, maka membayar diyatnya utuh.
d.      Jenis anggota badan yang berjumlah sepuluh, seperti jari tangan, jari kaki. Jika terpotong seluruhnya, maka diyatnya utuh dan pada salah satunya diyatnya sepersepuluh. Yakni satu jari 10 onta dan pada setiap ruas tulang dari satu jari sepertiga dari 10 onta, kecuali pada ibu jari, maka diyat peruasnya tulangnya 5 onta. Nabi Salallahu’alaihi wassalam bersabda: Dari Ibnu Abbâs radhiallahu'anhu ia berkata, “Rasulullâh Salallahu’alaihi wassalam bersabda tentang diyat jari tangan dan kaki, ‘semua sama , setiap satu jari 10 ekor onta."
Tidak ada perbedaan antara ibu jari dan kelingking dalam diyat.
Dari Ibnu Abbâs radhiallahu'anhu, dari Nabi Salallahu'alaihi wassalam, beliau bersabda: “Ini dan ini sama (diyatnya), yaitu kelingking dan jempol.[6]
e.       Diyat Pada gigi, untuk setiap gigi 5 ekor onta, dalilnya adalah hadits ‘Amru bin Hazm, "Dan pada setiap gigi diyatnya 5 ekor onta." Ibnu Qudâmah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mendapatkan perbedaan pendapat dalam masalah gigi bahwa diyat setiap gigi adalah 5 onta.”
2.      Diyat pada jinayah yang menimbulkan hilangnya suatu manfaat dari anggota badan. Manfaat yang dimaksud di sini ialah manfaat atau fungsi anggota badan yang telah kami sebutkan, Seperti panca indra pendengaran, penglihatan, penciuman, dan perasa. Jika salah satu dari panca indra ini hilang, maka wajib atasnya membayar diyat secara utuh. Hal yang serupa juga berlaku pada hilangnya manfaat dari anggota tubuh yang berjumlah tunggal seperti akal, kemampuan bicara, kemampuan sex, kemampuan berjalan, dll. Hal ini sebagaimana keputusan ‘Umar bin Khatthâb radhiallahu'anhu ketika beliau mengadili seseorang yang telah memukul kawannya dan mengakibatkan hilangnya penglihatan, pendengaran, kemampuan sex, dan akal darinya dan ia masih hidup. Oleh Umar radhiallahu'anhu orang itu di beri sangsi empat kali diyat (400 ekor onta) Kaidah dalam masalah ini, setiap anggota tubuh yang berjumlah tunggal maka diyatnya penuh (100 ekor onta) dan untuk anggota badan yang berjumlah dua atau empat atau sepuluh, bila terjadi kerusakan fungsi tanpa kehilangan bentuk anggota badan seperti lumpuh dan sebagainya, maka diyatnya sebesar prosentase hilangnya manfaat anggota tubuh tersebut dari diyat.
3.      Diyat pada jinayah yang berupa luka di kepala, wajah atau badan. Luka di kepala dan wajah dalam Bahasa Arab dinamakan Syajjah, dan luka pada selainnya dinamakan Jarh. Jinayah pada kepala atau wajah (syajjah) ini memiliki sepuluh tingkatan yang diambilkan dari Bahasa Arab. Setiap jenisnya memiliki nama dan hukum tersendiri pula. Adapun sepuluh macam tersebut yaitu:
                                                        i.            Al-Harishah: yaitu robeknya kulit ari dan tidak mengakibatkan keluar darah.
                                                      ii.            Al-Bazilah: yaitu luka yang merobek kulit dan mengeluarkan darah sedikit. Luka ini juga dinamakan ad-Dami’ah.
                                                    iii.            Al-Badli’ah: yaitu luka yang merobek kulit hingga daging bagian atas.
                                                    iv.            Al-Mutalahimah : yaitu luka yang merobek hingga daging bagian dalam.
                                                      v.            As-Simhaq: yaitu luka yang merobek hingga daging bagian bawah dekat dengan tulang, akan tetapi masih terhalang satu lapisan yang menutupi tulang. (tulang yang putih belum terlihat) Lima keadaan ini tidak ada ketentuan diyatnya, akan tetapi hukumnya diserahkan kepada hakim untuk menentukan kadar ganti rugi jinâyah tersebut.
                                                    vi.            Al-Mudlihah ialah luka yang menembus kulit dan daging hingga mengakibatkan tulang dapat terlihat jelas. Pada luka ini diyatnya 5 ekor onta. Hal ini disebutkan dalam hadis ‘Amru bin Hazm,
"Dan pada luka mudlihah diyatnya 5 ekor onta."
                                                  vii.            Al-Hasyimah: yaitu luka yang membuat tulang terlihat dan meretakkannya. Diyatnya adalah 10 ekor onta.[7]
                                                 viii.            Al-Munaqqilah: yaitu luka yang lebih parah dari al-Hasyimah, yang menyebabkan tulang pindah dari tempatnya. Maka diyatnya 15 ekor onta. Hal ini berdasarkan hadist ‘Amru bin Hazm radhiallahu'anhu, Rasullullâh Salallahu'alaihi wassalam bersabda: "Dan pada luka Al-Munaqqilah diyatnya 15 ekor onta".
                                                    ix.            Al-Ma’mûmah: adalah luka yang sampai pada lapisan pelindung otak kepala.
                                                      x.            Ad-Damighah: yaitu luka yang merobek lapisan pelindung otak.
Hukuman diyat untuk kedua jenis luka ini adalah sepertiga dari diyat utuh. Hal itu bersumber dari hadis yang sama dari riwayat ‘Amru bin Hazm radhiallahu'anhu: "Pada luka al-Ma’mûmah diyatnya sepertiga." Adapun pada luka Damighah, tentu lebih parah dari ma’mumah, maka ia lebih berhak untuk mendapat sepertiga diyat, akan tetapi karena biasanya korban yang terkena luka ini sering tidak tertolong jiwanya, maka tidak ada nash yang jelas yang menyebutkan jumlah diyatnya. Para Ulama’ menetapkan bahwa diyat Damighah adalah sepertiga apabila tidak terjadi kematian.
Kemudian untuk luka yang bukan pada wajah atau kepala yang disebut Jarh, maka ada satu jenis yang memiliki diyat yang datang dari nash, yaitu luka al-Jaifah, diyatnya adalah sepertiga dari diyat utuh. Dasar hukum ini masih diambil dari hadits ‘Amru bin Hazm radhiallahu'anhu: "Dan pada luka Jaifah diyatnya sepertiga."[8]
Adapun arti dari jaifah ialah luka yang dalam pada tubuh selain dari tangan, kaki maupun kepala, yang mana luka tersebut masuk sampai ke dalam tubuh dari arah dada atau perut, lambung kanan maupun kiri, punggung, pinggang, dubur, tenggorokan dan lainnya. Apabila badan tersebut terkena senjata kemudian tembus sampai pada sisi lainnya maka diyatnya dua jaifah karena lukanya ada pada dua sisi.

4.      Diyat pada jinayah yang mengakibatkan patah tulang.
Pada kasus patah tulang ini, menurut Ibnu Qudâmah rahimahullah ada 5 jenis tulang yang ada kadar diyatnya yaitu tulang rusuk, dua tulang iga, dan zand (lengan dan hasta). Kadar diyat pada 5 tulang tersebut yaitu:
                                                        i.            Diyat pada tulang rusuk yang patah, apabila bisa kembali tersambung dengan normal maka diyatnya seekor onta, begitu pula pada tulang iga. Sebagaimana diriwayatkan dari Umar radhiallahu'anhu bahwa ia berkata, “Pada tulang rusuk diyatnya satu ekor onta 27 dan pada satu tulang iga seekor onta. Akan tetapi bila tulang tersebut tidak kembali seperti keadaan semula, maka ia dikenakan denda hukumah. Maksud dari hukumah ialah seorang korban (majny ‘alaihi) diibaratkan sebagai budak yang ditaksir harganya sebelum dia terkena jinayah, kemudian dihitung prosentase apa yang berkurang dari dari harga budak itu, maka seberapa persen harga yang berkurang dari orang tersebut kita gunakan untuk mengukur kadar diyat.
                                                      ii.            Diyat Zand adalah dua ekor onta, yang mana pada tulang hasta seekor onta dan pada tulang lengan sekor onta. Hal ini berdasarkan dari Umar bin Khatthâb radhiallahu'anhu bahwa ketika beliau ditanya melalui surat oleh ‘Amru bin al-’Ash  tentang diyat zand (hasta dan lengan). Beliau menulis jawaban bahwa diyatnya (lengan dan hasta) adalah dua ekor onta dan pada dua zand 4 ekor onta.[9]
D.    Tindakan selain yang telah disebutkan di atas.
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah setiap tindakam pelanggaran, atau menyakitkan yang tidak sampai merusak athraf atau menghilangkan manfaatnya, dan tidak pula menimbulkan luka syajjaj atau  jirah. Contoh seorang yang memukul tangan, wajah dan sebagainya kepada orang lain akan tetapi hanya menyebabkan memar.
Dalam kasus yang seperti ini imam Abu Hanafiyah menyimpulkan bahwa hukuman yang pas dan setara untuk kasus ini ialah ta’zir, sebab kasus yang seperti ini sangat ringan apalagi pelaku tidak sengaja dalam perbuatannya.[10]
               IV.            Kesimpulan
Pada penjelasan di atas bahwa penganiayaan tidak sengaja dalam halnya mengenai hukuman disetarakan oleh penganiayaan yang disengaja. Akan tetapi jenis hukuman yang digunakan dalam kasus ini penganiayaan tidak disengaja yaitu diat sebab jika menggunakan qishas ada beberapa penghalangnya yang antara lain sudah disebutkan di atas tadi.
Dengan menjawab rumusan masalah pada makalah ini yaitu hukuman apa yang sudah ditentukan oleh pelajaran hukum islam ada banyak takaran yang sudah ditentukan mengenai objek atau sasaran pada penganiayaan tidak disengaja, yang penjelasannya sudah dijelaskan pada halaman 6-11.

Daftar Pustaka
·         http://abughozie.blogspot.com/2010/06/hukum-diyat-pada-jinayah-anggota-badan.html 
·         Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967)
·         Munajat, Makhrus, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: TERAS, 2009)
·         Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)


[1] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hal. 179

[2] Seperti: menembak burung terkena seorang mukmin
[3] Diat ialah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan.
[4] Bersedekah di sini Maksudnya: membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat.
[5] Berkata Ibnu Abdil Barr rahimahullah , “Kitab Amru bin Hazm rahimahullah ini terkenal di kalangan fuqaha
[6] Dalam Shahîh al-Bukhâri
[7] Sebagaimana diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit radhiallahu'anhu dan tidak ada seorang Sahabat pun yang menyelisihi pendapat beliau dalam masalah ini.
[8] Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Dan ini (diyat Jaifah) merupakan perkataan kebanyakan ahli ilmu, di antaranya Ulama Madinah, Ulama Kufah, Ulama Hadits dan ashabu ra’yi.

[9] http://abughozie.blogspot.com/2010/06/hukum-diyat-pada-jinayah-anggota-badan.html  (18/06/12, 10:54)
[10] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hal. 183

Tidak ada komentar: