I.
Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia sering kali kita
temui adanya kekerasan terhadap sesama. Ada kekerasan yang dapat menyebabkan
kematian, dan ada juga yeng tidak menyebabkan kematian. Kekerasan yang
menyebabkan kematian disebut pembunuhan, dan kekerasan yang tidak menyebabkan
kematian disebut penganiayaan. Dalam pembahasan kali ini saya akan mengulas
tentang penganiayaan yang tidak disengaja baik.
II.
Rumusan Masalah
A. Apa saja yang menjadi objek/sasaran penganiayaan yang
tidak sengaja?
B. Bagaimana
pandangan hukum islam terhadap kasus ini!
C. Apa
sanksi yang diberikan kepada pelaku penganiayaan yang tidak disangaja?
III.
Pembahasan
A.
Pengertian
penganiayaan tidak sengaja
Menurut Abdul al-Qadir Audah, penganiayaan tidak sengaja adalah
pelaku sengaja melakukan perbuatan tersebut tetepi tidak berniat melawan hukum[1]. Seseorang tersebut memang
sengaja melakukan tindak pidana
penganiayaan, tetapi si pelaku tidak berniat untuk melukai korban. Namun pada hakekatnya terdapat korban
akibat perbuatannya itu. Seperti seorang
melempar batu dengan tujuan membuangnya
karena kurang berhati-hati sehingga batu tersebut mengenai orang dan melukainya.
Terkait pengklasifikasian jarimah penganiayaan antara sengaja dan
tidak sengaja, terjadi friksi di kalangan para fuqaha’. Golongan Syafi’iyyah dan Hanabilah berasumsi bahwa dalam tindak
pidana penganiayaan terdapat pembagian
yang ketiga, yakni Syibh al-amd atau menyerupai
sengaja. Tindak pidana sengaja berbeda
dengan kelaliman, baik dari segi substansi
perbuatan maupun hukumnya. Namun dalam hukum dan ketentuannya terkadang sama. Oleh karena itu, para fuqaha’ menggabungkan dalam satu pembahasan.
Sebab tindak pidana penganiayaan yang dilihat
adalah obyek serta akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatan tersebut. Ditinjau dari segi
obyek atau sasarannya Para ulama ahli
fiqih membagi tindak pidana penganiayaan manjadi
lima bagian, baik tindak pidana penganiayaan sengaja maupun tindak pidana penganiayaan tidak sengaja. Dimana
pembagian ini merupakan kesimpulan dari
berbagai pendapat mengenai perbuatan pidana.
a.
Penganiayaan pada anggota dan sejenisnya (Atraf) Menurut
para fuqaha’ meliputi tangan dan kaki. Namun pengertian tersebut juga dimaksudkan pada anggota badan selain atraf
yakni jari, kuku, gigi, rambut, jenggot, lidah, alis, mata, bibir, dan bibir
kemaluan wanita.
b.
Menghilangkan manfaat anggota badan namun jenisnya masih utuh.
Penganiayaan ini merupakan perusakan anggota badan namun objeknya masih ada, seperti menghilangkan fungsi pendengaran
tetapi telingahnya masih ada.
c.
Al-syajjaj. Menurut Imam Abu Hanifah, al-Syajjaj merupakan pelukaan
khusus pada wajah dan kepala, namun khusus pada bagian tulangnya seperti dahi. Sedangkan pipi yang mengandung banyak daging tidak termasuk pada
Al-syajjaj. Namun ulama lain berpendapat
bahwa Al-syajjaj mutlak pelukaan pada
wajah dan kepala. Imam Abu hanifah membagi Al-Syajjaj
di antaranya:
i.
Al-Harishah
ii.
Al-Bazilah.
iii.
Al-Badli’ah.
iv.
Al-Mutalahimah.
v.
As-Simhaq.
vi.
Al-Mudlihah.
vii.
Al-Hasyimah.
viii.
Al-Munaqqilah.
ix.
Al-Ma’mumah.
x.
Ad-DamighahAl-jirah.
d. Al-jirah ini dibagi menjadi dua yaitu:
1)
Jaifah
yaitu pelukaan yang sampai kebagian dalam dari dada dan perut, baik pelukaannya
dari depan, belakang, maupun samping.
2)
Ghair
jaifah yaitu pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam dari dada atau perut,
melainkan hanya pada bagian luar saja.
e.
Tindakan
selain yang telah disebutkan di atas.
Adapun
yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah setiap tindakam pelanggaran, atau
menyakitkan yang tidak sampai merusak athraf atau menghilangkan manfaatnya, dan
tidak pula menimbulkan luka syajjaj atau
jirah. Contoh seorang yang memukul tangan, wajah dan sebagainya kepada
orang lain akan tetapi hanya menyebabkan memar.
B.
Pandangna hukum islam terhadap
penganiayaan tidak sengaja.
Dalam kasus penganiayaan yang tidak
sengaja sanksi atau hukuman yang
setimpal untuk kasus ini adalah diat sebagai mana penjelasan yaitu
Diat adalah hukuman pokok untuk
tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan menyerupai sengaja dan tidak sengaja. Ketentuan ini didasarkan kepada Firman Allah Swt dalam surah An-Nisaa’
ayat 92 yang artinya:
$tBur c%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& @çFø)t $·ZÏB÷sãB wÎ) $\«sÜyz 4 `tBur @tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ãÌóstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptÏur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr& HwÎ) br& (#qè%£¢Át 4 bÎ*sù c%x. `ÏB BQöqs% 5irßtã öNä3©9 uqèdur ÑÆÏB÷sãB ãÌóstGsù 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( ÇÒËÈ.
. .
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja)[2],
dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat[3]
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah.[4].
(An-Nisaa’ ayat 92)
Meskipun bersifat hukuman,
namun diat merupakan harta yang diberikan kepada korban atau keluarganya, bukan
kepada berbendaharaan Negara dalam hal ini diat hampir mirip dengan ganti
kerugian.
Dalam kasus jinâyah (kejahatan/pidana), terkadang korban tidak mengalami
kematian, akan tetapi hanya menderita cacat atau terkena luka yang dapat
disembuhkan. Dalam Islam, balasan pidana ini adalah qishâsh, sebagai keadilan
yang Allah Ta'ala tegakkan di muka bumi. Ini menunjukkan bahwa pada luka juga
terdapat hukum qishash. Dan ini adalah syariat umat sebelum umat ini, seperti
yang sebutkan pada firman Allah Ta'ala:
$oYö;tFx.ur öNÍkön=tã !$pkÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ ú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ cèW{$#ur ÈbèW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4
. . .ÇÍÎÈ
"Dan Kami telah tetapkan
terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa,
mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka luka (pun) ada qishashnya." (Qs
al-Maidah 5:45)
Dari ayat di atas, diketahui bahwa hukum asal jinayah adalah qishash. akan
tetapi, terkadang hukum asal ini (qishash) terhalang dengan beberapa mawani’
(penghalang), sehingga al-jani (pelaku jinayah) diberi hukuman lain yaitu diyat
(denda) sebagai ganti rugi dari kerusakan yang ditimbulkan.
Penghalang/Pembatal Qishash Anggota Tubuh. Adapun penghalang-penghalang qishâsh yang telah digariskan syari’at untuk diganti dengan diyat adalah sebagai berikut:
Penghalang/Pembatal Qishash Anggota Tubuh. Adapun penghalang-penghalang qishâsh yang telah digariskan syari’at untuk diganti dengan diyat adalah sebagai berikut:
1.
Al-Ubuwwah: maksudnya pelaku jinayah adalah bapak dari
korban tersebut. Dasarnya adalah hadits Rasulullah Salallahu'alaihi wassalam: Dari Umar bin Khaththâb radhiallahu'anhu, ia
berkata : “Aku mendengar Rasulullâh Salallahu'alaihi wassalam bersabda, “Bapak
tidak boleh diqishash pada jinayahnya terhadap anak.”
2.
Yang bersangkutan memberikan maaf dan rela dengan
diyat. Allah Ta'ala berfirman:
"Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat) kepada yang
memberi ma’af dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
3.
Tidak sekufu’, maksudnya tidak sepadan antara al-jani
(pelaku) dan al-majny ‘alaihi (korban). Yang dimaksud sekufu’ di sini menurut
jumhur Ulama’ ialah dalam dua hal, yang Pertama, huriyyah (status merdeka atau
budak), dan yang Kedua adalah status agama.
4.
Ketidaksengajaan (al-khata’) atau bahkan menurut
Syafi‘iyah dan Hanabilah pada kasus syibhul ‘amdi (mirip disengaja) termasuk
dari penghalang qishash.
C.
Hukuman atau sanksi terhadap penganiayaan tidak
sengaja.
Diyat (Denda) Anggota Badan Pada jinayah ma duna nafs (non kematian) ini memiliki
empat kategori diyat apabila qishâsh terhalang, yaitu:
a)
Diyat pada jinayah yang berakibat hilangnya salah satu
anggota badan.
b)
Diyat pada jinayah yang menimbulkan hilangnya suatu
manfaat dari anggota badan.
c)
Diyat pada jinayah yang berupa luka di kepala, wajah
atau badan.
d)
Diyat pada jinayah yang mengakibatkan patah tulang.
Adapun
perincian diyat pada jinayah- jinayah tersebut ialah:
1.
Diyat pada jinayah yang berakibat hilangnya salah satu
anggota badan dalam tubuh manusia terdapat 45 anggota badan. Dari anggota itu
ada yang berjumlah satu, dan ada juga yang berjumlah sepasang atau berjumlah
lebih dari itu. Maka, setiap jenis anggota tersebut memiliki diyat yang
berbeda-beda. Adapun pembagiannya yaitu:
a.
Bagian tubuh yang berjumlah tunggal seperti; lidah,
hidung, dzakar atau kulup, Shulb/tulang belakang (syaraf reproduksi), saluran
kemih, rambut kepala, jenggot bila tidak tumbuh lagi. Maka diyatnya utuh 100
ekor onta yaitu seperti diyat Nafs (jiwa). Khusus untuk kasus hidung, maka
diyatnya sempurna, dan hidung terdiri dari tiga bagian, yaitu dua rongga dan
satu pembatas rongga hidung. Apabila kerusakan terjadi pada salah satu bagian
tersebut, maka diyatnya sepertiga.
b.
Anggota badan yang berpasangan (berjumlah dua)
seperti, mata, telinga, tangan, bibir, tulang geraham, kaki, puting susu,
pantat, biji dzakar, maka pada keduannya diyatnya sempurna, dan pada salah
satunya diyatnya setengah. Kedua hal di atas berasal dari Sabda Rasulullâh
Salallahu’alaihi wassalam. Dari ‘Amru bin
Hazm bahwa Rasullullâh Salallahu'alaihi wassalam menulis untuknya, dalam
ditulisan itu, “Pada hidung yang terpotong diyatnya utuh, pada lidah diyatnya
utuh, pada kedua bibir diyatnya utuh, pada dua buah biji dzakar diyatnya utuh,
pada batang kemaluan diyatnya utuh, pada shulb (tulang syaraf reproduksi)
diyatnya utuh, pada kedua mata diyatnya utuh, dan pada satu kaki diyatnya
setengah.”[5]
c.
Anggota badan yang berjumlah empat seperti; kelopak
mata, atau bulu mata bila membuatnya tidak tumbuh lagi, maka pada setiap bagian
tersebut diyatnya seperempat, dan bila terpotong semua, maka membayar diyatnya
utuh.
d.
Jenis anggota badan yang berjumlah sepuluh, seperti jari
tangan, jari kaki. Jika terpotong seluruhnya, maka diyatnya utuh dan pada salah
satunya diyatnya sepersepuluh. Yakni satu jari 10 onta dan pada setiap ruas
tulang dari satu jari sepertiga dari 10 onta, kecuali pada ibu jari, maka diyat
peruasnya tulangnya 5 onta. Nabi Salallahu’alaihi wassalam bersabda: Dari Ibnu Abbâs radhiallahu'anhu ia berkata,
“Rasulullâh Salallahu’alaihi wassalam bersabda tentang diyat jari tangan dan
kaki, ‘semua sama , setiap satu jari 10 ekor onta."
Tidak ada
perbedaan antara ibu jari dan kelingking dalam diyat.
Dari Ibnu Abbâs radhiallahu'anhu, dari Nabi Salallahu'alaihi wassalam, beliau bersabda: “Ini dan ini sama (diyatnya), yaitu kelingking dan jempol.[6]
Dari Ibnu Abbâs radhiallahu'anhu, dari Nabi Salallahu'alaihi wassalam, beliau bersabda: “Ini dan ini sama (diyatnya), yaitu kelingking dan jempol.[6]
e.
Diyat Pada gigi, untuk setiap gigi 5 ekor onta,
dalilnya adalah hadits ‘Amru bin Hazm, "Dan
pada setiap gigi diyatnya 5 ekor onta." Ibnu Qudâmah rahimahullah
mengatakan, “Kami tidak mendapatkan perbedaan pendapat dalam masalah gigi bahwa
diyat setiap gigi adalah 5 onta.”
2.
Diyat pada jinayah yang menimbulkan hilangnya suatu
manfaat dari anggota badan. Manfaat yang dimaksud di sini ialah manfaat atau
fungsi anggota badan yang telah kami sebutkan, Seperti panca indra pendengaran,
penglihatan, penciuman, dan perasa. Jika salah satu dari panca indra ini
hilang, maka wajib atasnya membayar diyat secara utuh. Hal yang serupa juga
berlaku pada hilangnya manfaat dari anggota tubuh yang berjumlah tunggal
seperti akal, kemampuan bicara, kemampuan sex, kemampuan berjalan, dll. Hal ini
sebagaimana keputusan ‘Umar bin Khatthâb radhiallahu'anhu ketika beliau
mengadili seseorang yang telah memukul kawannya dan mengakibatkan hilangnya
penglihatan, pendengaran, kemampuan sex, dan akal darinya dan ia masih hidup.
Oleh Umar radhiallahu'anhu orang itu di beri sangsi empat kali diyat (400 ekor
onta) Kaidah dalam masalah ini, setiap anggota tubuh yang berjumlah tunggal
maka diyatnya penuh (100 ekor onta) dan untuk anggota badan yang berjumlah dua
atau empat atau sepuluh, bila terjadi kerusakan fungsi tanpa kehilangan bentuk
anggota badan seperti lumpuh dan sebagainya, maka diyatnya sebesar prosentase
hilangnya manfaat anggota tubuh tersebut dari diyat.
3.
Diyat pada jinayah yang berupa luka di kepala, wajah
atau badan. Luka di kepala dan wajah dalam Bahasa Arab dinamakan Syajjah, dan
luka pada selainnya dinamakan Jarh. Jinayah pada kepala atau wajah (syajjah)
ini memiliki sepuluh tingkatan yang diambilkan dari Bahasa Arab. Setiap
jenisnya memiliki nama dan hukum tersendiri pula. Adapun sepuluh macam tersebut
yaitu:
i.
Al-Harishah: yaitu robeknya kulit ari dan tidak mengakibatkan
keluar darah.
ii.
Al-Bazilah: yaitu luka yang merobek kulit dan
mengeluarkan darah sedikit. Luka ini juga dinamakan ad-Dami’ah.
iii.
Al-Badli’ah: yaitu luka yang merobek kulit hingga
daging bagian atas.
iv.
Al-Mutalahimah : yaitu luka yang merobek hingga daging
bagian dalam.
v.
As-Simhaq: yaitu luka yang merobek hingga daging
bagian bawah dekat dengan tulang, akan tetapi masih terhalang satu lapisan yang
menutupi tulang. (tulang yang putih belum terlihat) Lima keadaan ini tidak ada
ketentuan diyatnya, akan tetapi hukumnya diserahkan kepada hakim untuk
menentukan kadar ganti rugi jinâyah tersebut.
vi.
Al-Mudlihah ialah luka yang menembus kulit dan daging
hingga mengakibatkan tulang dapat terlihat jelas. Pada luka ini diyatnya 5 ekor
onta. Hal ini disebutkan dalam hadis ‘Amru bin Hazm,
"Dan pada luka mudlihah diyatnya 5 ekor onta."
"Dan pada luka mudlihah diyatnya 5 ekor onta."
vii.
Al-Hasyimah: yaitu luka yang membuat tulang terlihat
dan meretakkannya. Diyatnya adalah 10 ekor onta.[7]
viii.
Al-Munaqqilah: yaitu luka yang lebih parah dari
al-Hasyimah, yang menyebabkan tulang pindah dari tempatnya. Maka diyatnya 15
ekor onta. Hal ini berdasarkan hadist ‘Amru bin Hazm radhiallahu'anhu, Rasullullâh Salallahu'alaihi wassalam
bersabda: "Dan pada luka Al-Munaqqilah diyatnya 15 ekor onta".
ix.
Al-Ma’mûmah: adalah luka yang sampai pada lapisan
pelindung otak kepala.
x.
Ad-Damighah: yaitu luka yang merobek lapisan pelindung
otak.
Hukuman diyat untuk kedua jenis luka ini adalah sepertiga dari diyat utuh. Hal itu bersumber dari hadis yang sama dari riwayat ‘Amru bin Hazm radhiallahu'anhu: "Pada luka al-Ma’mûmah diyatnya sepertiga." Adapun pada luka Damighah, tentu lebih parah dari ma’mumah, maka ia lebih berhak untuk mendapat sepertiga diyat, akan tetapi karena biasanya korban yang terkena luka ini sering tidak tertolong jiwanya, maka tidak ada nash yang jelas yang menyebutkan jumlah diyatnya. Para Ulama’ menetapkan bahwa diyat Damighah adalah sepertiga apabila tidak terjadi kematian.
Hukuman diyat untuk kedua jenis luka ini adalah sepertiga dari diyat utuh. Hal itu bersumber dari hadis yang sama dari riwayat ‘Amru bin Hazm radhiallahu'anhu: "Pada luka al-Ma’mûmah diyatnya sepertiga." Adapun pada luka Damighah, tentu lebih parah dari ma’mumah, maka ia lebih berhak untuk mendapat sepertiga diyat, akan tetapi karena biasanya korban yang terkena luka ini sering tidak tertolong jiwanya, maka tidak ada nash yang jelas yang menyebutkan jumlah diyatnya. Para Ulama’ menetapkan bahwa diyat Damighah adalah sepertiga apabila tidak terjadi kematian.
Kemudian untuk luka yang bukan pada wajah atau kepala yang disebut Jarh,
maka ada satu jenis yang memiliki diyat yang datang dari nash, yaitu luka
al-Jaifah, diyatnya adalah sepertiga dari diyat utuh. Dasar hukum ini masih
diambil dari hadits ‘Amru bin Hazm
radhiallahu'anhu: "Dan pada luka Jaifah diyatnya sepertiga."[8]
Adapun arti dari jaifah ialah luka yang dalam pada tubuh selain dari
tangan, kaki maupun kepala, yang mana luka tersebut masuk sampai ke dalam tubuh
dari arah dada atau perut, lambung kanan maupun kiri, punggung, pinggang, dubur,
tenggorokan dan lainnya. Apabila badan tersebut terkena senjata kemudian tembus
sampai pada sisi lainnya maka diyatnya dua jaifah karena lukanya ada pada dua
sisi.
4.
Diyat pada jinayah yang mengakibatkan patah tulang.
Pada kasus patah tulang ini, menurut Ibnu Qudâmah rahimahullah ada 5 jenis
tulang yang ada kadar diyatnya yaitu tulang rusuk, dua tulang iga, dan zand
(lengan dan hasta). Kadar diyat pada 5 tulang tersebut yaitu:
i.
Diyat pada tulang rusuk yang patah, apabila bisa
kembali tersambung dengan normal maka diyatnya seekor onta, begitu pula pada
tulang iga. Sebagaimana diriwayatkan dari Umar radhiallahu'anhu bahwa ia
berkata, “Pada tulang rusuk diyatnya satu ekor onta 27 dan pada satu tulang iga
seekor onta. Akan tetapi bila tulang tersebut tidak kembali seperti keadaan
semula, maka ia dikenakan denda hukumah. Maksud dari hukumah ialah seorang
korban (majny ‘alaihi) diibaratkan sebagai budak yang ditaksir harganya sebelum
dia terkena jinayah, kemudian dihitung prosentase apa yang berkurang dari dari
harga budak itu, maka seberapa persen harga yang berkurang dari orang tersebut
kita gunakan untuk mengukur kadar diyat.
ii.
Diyat Zand adalah dua ekor onta, yang mana pada tulang
hasta seekor onta dan pada tulang lengan sekor onta. Hal ini berdasarkan dari
Umar bin Khatthâb radhiallahu'anhu bahwa ketika beliau ditanya melalui surat
oleh ‘Amru bin al-’Ash tentang diyat
zand (hasta dan lengan). Beliau menulis jawaban bahwa diyatnya (lengan dan
hasta) adalah dua ekor onta dan pada dua zand 4 ekor onta.[9]
D.
Tindakan
selain yang telah disebutkan di atas.
Adapun
yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah setiap tindakam pelanggaran, atau
menyakitkan yang tidak sampai merusak athraf atau menghilangkan manfaatnya, dan
tidak pula menimbulkan luka syajjaj atau
jirah. Contoh seorang yang memukul tangan, wajah dan sebagainya kepada
orang lain akan tetapi hanya menyebabkan memar.
Dalam
kasus yang seperti ini imam Abu Hanafiyah menyimpulkan bahwa hukuman yang pas
dan setara untuk kasus ini ialah ta’zir, sebab kasus yang seperti ini sangat
ringan apalagi pelaku tidak sengaja dalam perbuatannya.[10]
IV.
Kesimpulan
Pada penjelasan di atas bahwa
penganiayaan tidak sengaja dalam halnya mengenai hukuman disetarakan oleh
penganiayaan yang disengaja. Akan tetapi jenis hukuman yang digunakan dalam
kasus ini penganiayaan tidak disengaja yaitu diat sebab jika menggunakan qishas
ada beberapa penghalangnya yang antara lain sudah disebutkan di atas tadi.
Dengan menjawab rumusan
masalah pada makalah ini yaitu hukuman apa yang sudah ditentukan oleh pelajaran
hukum islam ada banyak takaran yang sudah ditentukan mengenai objek atau
sasaran pada penganiayaan tidak disengaja, yang penjelasannya sudah dijelaskan
pada halaman 6-11.
Daftar Pustaka
·
http://abughozie.blogspot.com/2010/06/hukum-diyat-pada-jinayah-anggota-badan.html
·
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967)
·
Munajat, Makhrus, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: TERAS, 2009)
·
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005)
[1]
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hal. 179
[3] Diat ialah pembayaran sejumlah
harta karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan.
[5] Berkata Ibnu Abdil Barr rahimahullah , “Kitab Amru bin Hazm rahimahullah
ini terkenal di kalangan fuqaha
[7] Sebagaimana diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit radhiallahu'anhu dan tidak ada
seorang Sahabat pun yang menyelisihi pendapat beliau dalam masalah ini.
[8]
Ibnu Qudâmah
rahimahullah menyatakan, “Dan ini (diyat Jaifah) merupakan perkataan kebanyakan
ahli ilmu, di antaranya Ulama Madinah, Ulama Kufah, Ulama Hadits dan ashabu
ra’yi.
[9]
http://abughozie.blogspot.com/2010/06/hukum-diyat-pada-jinayah-anggota-badan.html (18/06/12, 10:54)
[10] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1967), hal. 183
Tidak ada komentar:
Posting Komentar